Data buku kumpulan puisi
Judul: Talkin
Penulis: Muhammad Daffa
Penerbit: Teras Budaya, Jakarta Selatan.
Cetakan: I, Januari 2017
Tebal: viii + 68 halaman (53 puisi)
ISBN: 978-602-1226-74-2
Desain cover: Teras Budaya Art
Beberapa pilihan puisi Muhammad Daffa dalam Talkin
PADA SEBUAH KEMARAU PUTIH
Tempiaslah kemarau dari robeknya musim hujan di penghujung
suatu bulan
Tempiaslah musim dari udara tegak
Merapat pada cuaca di hari ini
Begitu putihnya ia, betapa putih kemarau itu mengayunmu ke
pelukan abadi
Tidak kunjung dilepasnya.
Pada sebuah musim lainnya, kau akan mengeja makna adanya
Tumbuh mengekang hari
Suara dari dunia lain yang terasing
Tak dikenal sebagai apa pun
Tempiaslah kemarau ke jantung
Lepaslah hujan dari sela-selanya
Betapa putih, betapa putihnya ia
Mengada ruang di tubuhmu, seketika bersimpuh
Mengingat dosa lama tak diampun Tuan
Tempiaslah segala
Dari kubangan kemarau
Tempiaslah; suara-suara
2016
TALKIN
Seseorang berdoa di sebuah mihrab. Ie mendengar bunyi asing
Mungkin angin, yang mengepak dekat jendela. Utas doanya
begitu putih dieja
Sumringah sewaktu melihat senyum terakhir simpul. Berduka
Ketika ada mata rabun diangsur-angsur kematian
Kemarin hari, di panggung bawah langit sana
Kata-kata yang disusunnya masih bening
Terucap dan dilantun sebagai nyanyi
Sebentar kau mengelana jauh
Singkat berjalan memanggul usia
Prahara mana mengelabuimu
Di ujung cerlang
Dan kedip ajal?
Usia gegas lenyap ke arah kesunyian paling rajah
Tergugup kau tengadah
“Duh, hamba yang sendiri. Berlalu kah ia mengalun langkah
Jauh melayar umur, tanpa disertaimu Baginda?’’
Kenduri kami dipenuhi sedu dan separuh isak tertahan
Lewat berapa lama tak sudah-sudah
Melalui berapa hari ke depan tak juga berakhir
Dikenang-kenang begitu lama kepergian
Begitu jauh kau kelana kesunyian
Mengalun langkah sendiri
Begitu singkat mekar usia
Esok kita pulang, esok kita pulang
Hari yang gersang
Terlepaslah terang
2016
LAGU DEDAUNAN
Panggillah kami hijau sehabis disiramkan hujan. Mudah terserak gugur dari
dahan yang menahan
Agar tak jatuh terlalu lekas
Jangan namakan kami keriput setelah menguning oleh angin kelabu, sebab
masih terlalu ingin
Merasakan sejuk sebelum terhapus kemarau
Panggil saja kami irama yang melantun wirid tak putus. Mengiris kata menjadi doa
Yang dilepaskan kepada angin
2016
BELAJAR MENJADI HUJAN
Namaku hujan, yang digugurkan satu-persatu oleh mendung dari
dahan langit, namaku rintik, ketika bumi menginginkanku sebagai
gerimis berjarum-jarum. namaku api, padam pada pandang matamu
Namaku hujan, yang tersulut bara angin menghembusku, jemariku
alir sungai, terus mengaliri doa pada bayangmu di nun
Aku juga gerimis, yang turun amat perlahan ke beranda jantungmu,
membasuh diri pada lengkung cakrawala saat senja
Aku hujan terasah suaramu, gemar bertampang rintik. Ketika urung
menggapaimu yang mengacuh
Namaku hujan, turun di bayangmu sebagai doa tersubuh, panjang
mengakar di namamu. aku waktu yang kerap kau lupa, berhenti detik
tepat saat kau benar-benar melupakanku, ada
2016
Puisi ini pernah terbit di SKH Tribun Bali edisi Minggu, 23 Oktober 2016
BEBERAPA KATA TENTANG CINTA
(1)
Cinta adalah denyut tak teraba, desir tanpa aba-aba. Bagiku ia adalah
sebuah keniscayaan yang semestinya memang ada dalam hidup.
Bukan semata semu dalam redup. Seseorang bijak pernah
membilang sabda dari lambung sebuah kitab tua,
“Tuhan tak pernah menjual cinta dengan takaran pura-pura. Cinta
mesti digenggam dalam paruh kesabaran di dada setiap insan. Cinta
ialah segala kemungkinan terpanggil, entah buruk atau pun baik.”
(2)
Aku berkata suatu hari pada seorang perempuan
Di tepi sungai bermata dermaga,
“Apakah menurutmu sungai ini lelap akan keheningan waktu?”
“Tidak, katamu. Ia seperti cinta, mengalir walau tak lagi bergulir
dalam pertemuan.”
Dua ekor gagak menudingkan tanda kematian pada keningku, aku
bertanya pada salah satu di antaranya
“Apakah cinta harus terbasuh kematian pada akhirnya?”
“Kematian adalah cinta itu sendiri. Jalan paling lengang bersuasana
kabut
Dan tebal lelap dalam mimpi abadi.”
(3)
Kemustahilan kita anggap sebagai cinta paling ajaib, karena
ketiadaannya mampu mengada asalkan kita mau menjemputnya
dengan kasih. Pada suatu sore yang hampir menyentuh maghrib, aku
bersimpul sendiri pada kata,
“Cinta adalah apa-apa yang mesti dikenangkan, hidup senantiasa
walau penggenggam cinta itu telah terpasung kematian.”
Banjarbaru, Dalam Sore Hujan, 2016
BELAJAR MENGHITUNG HARI
1
Berapa usia larut dalam kabut
Menggembala di padang kesesatan
Berjalan mengoyak sepi
Kerap abai kepadanya
2
Jalan terpanjang sudah terpampang. Cahaya menebas ruang
Bayang-bayang meninggalkan ruang
Bayang-bayang menerjang garang kefanaan
Di terik hari-hari gegas lalu
3
Kesepian hanyalah ombak waktu yang mengada catat
Penggenggam keping ayat menyebutnya tanpa nama
Sebagian musim terkucur penuh ke tumpahan umur
membawa kekeringan nafas bertahun
Musykil omong-omong yang ompong kita garap
Di kedai semalam, terlepas sia-sia
Semata.
Mengapa terang meredup dalam pertemuan
Gemetar jari memahaminya
Selembar waktu di ruang:
Tak pernah bisa kita pahami.
Sejauh jalan panjang ditempuh
Tak mampu juga kita menebak
Di mana ujungnya beradu, dengan pintu mana
Ujungnya bertumbuk
Sia-sia menanti pulang ke rumah amsal
2016
TENTANG KOPI
Sekujur kopi ini berbicara kepadamu akan senja yang pernah kita
bangun di sebuah beranda
Yang teramat enggan kau mengingatnya. Karena pernah terkecoh
remah kata yang kususun
Tanpa bait dan sketsa. Segelas kopi ini tidak menyangkal ketika aku
pun mengaku pada akhirnya
Pernah terbuhul rayuan
Sekujur kopi yang hendak kuseduh ini mengakui bahwa kesunyian
yang telah pecah waktu tengah malam
Adalah deru hening membawa angin terjalang. Aku tidak ingin
mengatakan bahwa ia memang benar
Namun adakalanya ia bisa bersalah, karena tidak begitu tahu apa itu
malam dan kesunyian yang sesungguhnya
Ketika aku pun menyeduhnya pelan dan berkata padanya bahwa
segelas kopi seperti ia pun juga
Bisa bernama kesunyian juga malam-malam panjang. Bila aku
menganggapnya tak ada dan hanya
Mengakui hitamnya semata.
2016
TALKIN 2
Berlalu using usiamu menerobos jarak
Jauh mengejar cahaya asing di gerbang sorga
Jarak yang tak bisa dihitung-hitung
Dimana napas terlepas bebas
Pulang melanglang tualang baru
Pergi mengejar cahaya asing
Mengelana menjelajah tualang
Tukang sulap menyihirmu jadi sunyi
Di antara jarak dan maut
Menyihirmu jadi padam
Sepasang mata itu
Kembalikah terbuka?
Pulang melanglang tualang lain
Mengejar cahaya asing
Bunyi-bunyi asing
Tak terbendung
Usia begitu hambar dieja
Hanya menunda kepergian terusan
Di stasiun tua
Dua makhluk ganjil
Membawa pisau dan kapak berkucur luka
Terdengar berkata
“Hamba yang kesepian
Nikmatkan segala cahaya
Bila kau selama ini fasih wirid”
“Kami yang asing di negeri bersolek jahiliyah
Tanah asing, tanah asing
Yang sebenarnya tak ingin kami kenal karena binal, begitu bebal”
Dua makhluk itu
Berbisik,
“Apakah kita harus membawanya ke suatu dataran hambar
Apakah kita mesti pula membawanya ke sorga?”
“Sabarkan hamba. Dengkur abadi melanglang tualang baru
Kesunyian makin mengasin saja”
2016
MELEWATI LAJUR IBU
Disayangkan ia oleh sang Ibu, telah menyapihnya dengan doa dan
bungkus kasih sayang
Di depan matanya, ia melihat ada jalan menghampar luas, seluas
matamu mengedip bening
Lajurnya adalah doa yang dilayangkan ibu dari sujudnya
mengkhusyuk tunduk. Kita tak cukup
Bingung ketika menerka di mana ujungnya bergurat, sebab ia tak
berujung. Karena doa tidak
Pernah berujung dan mencapai bilangan akhir. Seganjil-ganjilnya ia,
tetaplah namanya doa
2016
PEREMPUAN DALAM DUKA
1
Dipulangnya yang ke berapa kali, ia ingat. Selalu ingat
Ada kata-kata yang tak, atau belum, dilepasnya.
Sepasang jalan bergeming di depan, ada senja ikut bertingkah
Tapi, bukankah sebaiknya kita menunggu sampai gerbang itu terbuka?
Tanggalkanlah tawa yang berderai. Minta kosongkan segala suara
Di tanah itu segala gurau mesti dilupa, kita lupakan. Segala igau dikebut
Kita kuncikan. Ke dalam mouseleum tergelap, paling kekal.
Hempaskan
Mimpi itu, duka terlanjur memagutmu
Kenangkan rabuan cuaca, rabun usia
Dalam lengang ruang tunggu
Ritus terakhir
Sebelum benar-benar memasuki sorga, atau nirwana ketujuh
2
“Dia melupakanmu, Dulcontine. Ia melupakanmu. Tetapi,
bagaimana mungkin
Paras merah delimanya mendusta dahagamu padanya?
Siapa yang sesungguhnya bermain-main, Dulcontine?”
3
Menjelang mudik lebaran, perempuan yang merindukanmu dari
dalam duka itu tak lagi membuka
Matanya. Cuaca di matanya meratap senyap yang tiada bertepi,
Sampai kita lupa, bahwa kematian adalah ledakan hening sewaktu
retaknya
Menyuruh kita untuk pulang
Menjelang angin tergagu datang, Meulafis tinggal kembang mekar
muram di jendela
Senyumnya datar dan samar-samar redup, teduh oleh maut.
“Siapa, siapa sebenarnya yang maut itu, Dulcontine kekasihku, senja
di luar
Atau malam pergi ke puncaknya tepat pada pukul 24.00?”
4
Meulafis, tak terdengar lagi sayup-sayup suaramu. Hanya sisa napas
mendirikan kuduk di tengkuk
Sesaat ketakutan Dulcontine pun mulai tumbuh. Menggigil oleh
kesepian paling ganjil
Selepas senja itu (kematian pertama bagi sang pacar) untuk berlalu
Di sini maut selalu mengancam, Tuanku. Ada angin yang mendekap
dari arah tak disangka-sangka
Ada maut melayang muram,
Di sepanjang usia ini
2016
PADAM CAHAYA
Jantungmu mendebur rasa-rasa rindu ke petak tubuhku. Sebelum
bisa memisahkan
Ruang cahaya di antaranya. Cahaya paling musykil yang pernah
ditemui di masa ini jaman
Tetapi jangan terlampau menyembunyikannya di gemuruh hati.
Tancap saja kedipnya.
Ke jantung-jantung kosong tiada berisi. Hitunglah segala terang dari
cahaya
Silaunya lenyap melenggang jauh, perginya pergi tidak kembali.
Padamu semata masih ada tunggu
Dekapan yang jauh, teduh tubuh meredam apimu.
Lewatkan hitung hari mengusung cahaya
Usah tertipu engkau. Dunia hanya omong sebentar, hilang sesaat lalu
Suara Tuan, suaranya memanggil yang datang terlambat
Ke dekapan silau cahaya
2016
DONGENG
Sazakus membayangkan ada getah kematian tumbuh bercabang
di kedua mata ibunya
Setengah rabun. Ia melihat hamparan palma menjadi dataran
kosong, entah bagaimana caranya
Tiba-tiba angin menelisik suaranya sendiri. Setelah berapa hari
berlalu, namanya tetap asing,
Keasingan yang mengental
Berbentur dengan debu-debu ganjil bernama maut,
Atau kesepian siap ditanam bertahun
Bau kematian itu, ibu, adalah luap perpisahan paling lama
Memisahkan ratap mataku dengan matamu
Hari pemakaman itu, ibu, adalah hari terakhirmu
Mengikat ratap dalama pejam
Membayangkan ada dunia lain di sisi
Ada dunia ganjil, teramat asing dikenal
Tak ingin dikenal
Hari nahas itu kita tunggu, Sazakus pun menunggu
Siapa ragu?
Getah kematian lebih buruk dari aroma asin pesisir
Hari nahas itu pasti bertamu pada kita. Siapa menunggu
Waktunya getar napas
Putus,
Demikianlah. Demikianlah ajal itu tiba, Saza. Nikmatkan sentuhan
Meriap perlahan di sekujur tubuh
2016
HUJAN DI PETANG USIA
Kubaca sejengkal usia di uban rambutmu menafsir sebuah tanda
Yang tak juga bisa kueja lekas karena begitu rabun aku memahaminya
Teringat dengan hujan gugur guyur di petang tergambar hambar
Waktu itu kau tak menganggap ia apa pun juga siapa pun. Karena
guyuran airnya menumpah
Maut menyihir usia
Kubaca sepetak senja yang tumbuh bersama uban di rambut ibu
Berharap cemas ia bukan tanda
Ajal atau seringai hujan mengguyur pelupuk suatu kelak
Yang kita tak tahu kapan saat itu tiba
2016
DI NEGERI TUHAN MATI
Di mulut sebuah kota
Pemabuk gagal membaca tanda
Sibuk dengan omong-kosongnya sendiri
Suara-suara asing, bunyi-bunyi orkes malam hari
Menghantam sekujur ayat ilahi
Di bibir anak tanggung
Yang terpaksa mengenal semua itu
Di bibir pantai yang mengingatkan kita pada kecup kemarin lalu
Kau merasa pelapah nirwana sudah dilayangkan
Dari langit
Apakah suara cahaya, pelepah kitab suci, telah dihapus dari jejaknya
Hilang begitu saja
Pemabuk setengah sadar, kupu malam, biduan pahatan pualam
Membiarkan cahaya tertebas dengan busuk omong kosong di bar
Redup segala terang dan cahaya
Nyaris sirna tak kenal aba-aba
Suara tanda
Dendang kitab suci di surau terjauh
Suara-suara cahaya
Pelepah risau
Bebayang gamang
Terus saja berganti. Lalu. Pergi.
Apakah kau, ya, kau Tuan, tak akan pergi
Masih menjadi?
2016
ARAHAN RENUNG
Membujukmu mengikut arahan renung tak membuatku jatuh
kepada suara-suara
Kerap ganggu di dalam ruang keheningan. Mengajakmu sekejap
mampu tangkap gema
Kesantunan cahaya bertandang, lewat celah jendela mata
membuatku terbawa warna
Pelik cinta terhubung samar. Mengeja satu-persatu waktu
Kulepas kembali engkau kepada Sang Samar di luar yang tak memar
Oleh bianglala dosa. Aku akan tetap menegurmu bila salah agar Sang
Segala mengampunkan
Di hadapan segala amin yang masih tertahan di kerongkongan
2016
Tentang Muhammad Daffa
Muhammad Daffa lahir di Banjarbaru, 25 Februari 1999. Puisinya termuat di beberapa media massa dan antologi bersama seperti Tifa Nusantara 3, Menemukan Kekanak dalam Tubuh Petuah (Stepa Pustaka) dan Antologi Puisi Kopi. Talkin adalah kumpulan puisinya yang pertama.
Catatan lain
Dalam Pengantar (hlm. iii-iv), ada ditulis begini: “Untuk itu pula, bukan suatu hal yang mengherankan, jika ia kemudian terpiih oleh para admin grup Dapur Sastra Jakarta, yang menjadi juri lomba penulisan kreatif tahun 2016, sebagai salah satu penulis terbaik dan mendapatkan paket wisata sastra ke Bali denan beberapa penulis lainnya. Sekaligus pula mendapatkan promosi dari grup jejaring sosial di atas untuk karyanya diterbitkan.”
“//Dengan napas spritualitas yang diyakininya, hampir semua tertuang di dalam puisi-puisinya. Salah satu di antaranya adalah puisi Talkin yang menjadi pilihan judul dari buku kumpulan puisinya ini.//Talkin (tahlil?) adalah suatu pembacaan ayat suci setelah kematian seseorang yang tentunya bersifat transendensi. Yang menarik adalah, penulis dalam menyajikan dalam puisinya, tidak terjebak untuk menyampaikan secara dogmatis, tetapi membiarkan mengalir begitu saja dengan imajinasi dan kelenturan bahasa yang dimilikinya, sehingga memberi ruang perspektif imajinatif bagi pembacanya.”