Misteri Bis Dan Seorang Perempuan

Ku langkahkan kaki dengan cepat. Segera kutuju halte bis yang terletak di perempatan jalan. Gerimis rintik-rintik yang semakin besar membuatku segera mempercepat langkah. Jalanan kini telah sepi lagang, tidak ada satupun kendaraan lewat. Entahlah apa yang terjadi. Mungkin karena malam yang semakin larut disertai hujan deras. Ku lihat jam yang melingkar di tangan, sudah jam 23.50. Sepuluh menit kemudian, tepat pukul 00.00, sebuah Bis berhenti di depanku. Tanpa rasa curiga, aku segera naik ke dalam bis, karena malam semakin larut dan dingin yang tak tertahankan. Aku ingin segera sampai kos, dan buru-buru istirahat, apalagi besok pagi aku ada jadwal kuliah pagi. Ah, ini baru pertama kalinya aku harus lembur sampai selarut ini.

Ku lihat di dalam bis, tak ada seorang pun. Semua tempat duduk kosong. Eh, tapi, tunggu dulu.. Aku menyipitkan mata, agar bisa jelas melihat dengan jelas. Di bangku pojok paling belakang, ada seorang perempuan dengan kepala tertunduk. Tapi aku tidak merasakan hal aneh, mungkin perempuan itu sedang tidur karena kecapekan. Ku putuskan segera duduk di bangku tengah dan menyandarkan kepalaku ke jendela bis. Tiba-tiba aku merasakan dingin yang sangat, bulu kuduk berdiri. Lampu dalam bis itu mati. Dan.. Wushhh. Aku terperanjat. Apa itu yang barusan lewat? Ku alihkan pandangan ke bangku belakang, ingin melihat perempuan yang tadi duduk dengan menunduk. Namun nihil, aku tak bisa melihatnya. Di luar bis pun terlihat sangat gelap sekali.
Beberapa menit kemudan lampu kembali menyala, dan bis berhenti. “Mbak, sudah sampai.” Kata supir dengan nada dingin. Aku terhenyak, dari mana supir ini tahu kalau aku berhenti disini, seingatku aku tidak bilang apapun tadi. Tapi, aku turun saja. Aku kasihkan uang dua lembar lima ribuan. Supir itu menerimanya tanpa menoleh sedikitpun. Aku tidak bisa melihatnya karena dia memakai topi, ditambah lagi kepalanya menunduk. Kutolehkan kepalaku ke belakang. Ingin melihat perempuan yang tadi. Namun tidak ada. Sudahlah, aku turun saja, walaupun dalam pikiranku ada beribu-ribu pertanyaan yang membingungkanku.

Sesudah aku turun, dengan iseng aku lihat ke belakang. Kemana bis itu, kenapa tiba-tiba tidak ada. Masak iya bis itu melaju kencang. Tapi kalau pun bisnya melaju kencang, setidaknya masih terlihat jelas, karena jalan raya di depan kosku lurus, tak ada belokan. Aku pun segera masuk ke kos dengan berlari. Bukk. “Aduhh.” “Neng Dina, kenapa neng lari-lari, kaya ketakutan gitu..” Ah, sukurlah, itu Mang Asep. Penjaga kos disini. “Tidak apa-apa kok mang. Ya sudah, aku masuk dulu ya mang.” “Iya neng.”

Huh, dasar si bos, masak aku harus lembur lagi. Lagi-lagi aku pulang seperti kemarin. Namun kali ini tidak ada hujan deras. Di jalan pun masih ada kendaraan walau jarang. Tepat pukul 00.00, Bis itu datang lagi. Sebenarnya aku tidak mau naik bis ini lagi, takut kejadian kemarin terulang lagi. Tapi apa daya, malam sudah sangat larut. Aku hanya bisa pasrah. Lagi-lagi lampunya mati, dan ketakutanku terjadi. Wusshh. Aku hanya menutup mata, dan bus itu berhenti. Aku segera turun, dan berlari menuju kos. Segera kurebahkan badan yang sangat lelah ini di kasur kamarku. Baru saja terlelap dalam nikmatnya tidur, tiba-tiba terdengar suara perempuan menangis di ruang bawah. Seketika juga aku penasaran sekaligus merinding. Jantungku berdegup lebih kencang. Suara siapa itu. Kenapa menggangguku di tengah malam ini. Kulihat jam di dinding kamar. Jam 01.00. Apa aku harus mengeceknya ke ruang bawah itu? Tapi, mang Asep melarangku membuka ruang bawah. Sebenarnya apa yang terjadi.

Ku ketuk pintu Lisa di sebelah kamarku. Karena tak ada jawaban, langsung saja membuka pintunya. Ku bangunkan Lisa yang tertidur pulas dengan menggoncangkan tubuhnya. Lisa bangun dan mengucek-ngucek matanya. “Ada apa sih Din, ngantuk tau!” “Lis, kamu denger suara cewek nangis gak?” Lisa pun terdiam dan menajamkan kupingnya. “Ah, kamu itu berhalusinasi aja.. gak ada gitu.. udah ah, aku mau tidur. Ngantuk!” “Lis, aku tidur disini ya.” Lisa hanya menarik selimutnya dan meneruskan tidur. Aku ikut berbaring di sebelah Lisa. Suara tangisan itu terdengar lagi. Tapi aku tak mempedulikannya. Lebih baik aku pejamkan mata saja.

Ini adalah hari ke tujuh aku disuruh lembur lagi sama si bos. Sebenarnya aku enggan, tapi karena kepepet, akhirnya aku iya kan saja. Setelah pulang, aku telepon Lisa. Ku suruh dia menjemputkku. Aku tak mau lagi naik bis aneh itu. Bagiku itu adalah hal misteri yang benar-benar membuatku bisa-bisa mati berdiri. Segera ku telepon Lisa. Tak diangkat. Kucoba beberapa kali. Ah.. kenapa dia tak mengangkatnya, padahal tadi dia berjanji mau menjemputku pulang. Ku telepon Riri, teman se kos juga. Tidak aktif. Kenapa dengan orang-orang ini. Bis itu berhenti lagi di depanku. Apa yang harus kuperbuat? Aku sangat bingung. Tiba-tiba pintu bis terbuka. Di balik pintu itu ada seorang perempuan cantik dan tersenyum padaku. Ia melambaikan tangannya, menyuruhku agar segera masuk. Dan entah kenapa, aku menuruti perintah dia. Aku pun segera naik. Dia duduk di sebelahku. Namun tak lama kemudian, aku merasa hawa sekitar sangat dingin, sampai menusuk tulang. Bulu kudukku ikut berdiri. Merinding. Perempuan di sebelahku tiba-tiba menangis pilu. Aku teringat dengan kejadian aneh di kos, karena suaranya sama persis. Aku menoleh dengan perlahan untuk memastikan apakah perempuan ini benar-benar orang, atau… HAH.. aku terlonjak kaget saat dia melihatku tajam. Dia menangis darah, wajahnya sangat pucat. Aku berlari menuju supir, dan meminta untuk berhenti. Tapi anehnya, supir itu seperti tidak mendengar suaraku. Padahal aku sudah berteriak minta berhenti. Ku goncangkan tubuhnya. Lagi-lagi aku terlonjak kaget saat supir itu menoleh ke arahku. Wajahnya sudah rusak dan agak hitam legam. Matanya berlubang satu. Aku dengan sigap lari menuju pintu bis, untunglah pintunya tidak tertutup, aku meloncat. Tubuhku terguling-guling di atas aspal. Tapi aku tak peduli, aku segera bangkit dan berlari. Tiiiit… tiiiiiit… Ckiiiit.. HAH.. Aku berdiri ketakutan di depan sepeda motor yang hampir saja menabrakku. “Dinaa.. kamu kenapa..” Kulihat orang yang menyebut namaku. Ternyata dia adalah Rizki, teman kuliahku. Aku langsung berhambur padanya, dan duduk di belakang Rizki dengan badan gemetar. Rizki masih terheran-heran melihatku. “To.. tolong an..ta..r.. ak.. u.. pu…lang.” kataku dengan gugup dan nafas yang masih tersengal. Tanpa bertanya lebih lanjut, Rizki mulai menjalankan maticnya.

Setelah sampai kos, Rizki mengantarku ke kamar dan membuatkan aku teh hangat. “Minum dulu biar tenang.” Aku pun segera meminumnya. Dalam hitungan detik, teh itu langsung habis. “Sebenarnya apa yang terjadi Din, kenapa tadi kamu tiba-tiba ada di tengah jalan, tengah malam lagi.” Aku masih terdiam. “Tangan kamu juga kenapa, kok berdarah gini. Kamu jatuh?” Aku menggeleng cepat. “Trus kenapa?” “Rizki, emm…” “Iya?” “Akuu.. takuut.” “Takut kenapa? Ada yang nyakitin kamu?” Aku menggeleng lagi. “Kenapa? Cerita aja. Kita kan udah deket. Ya kalau kamu gak cerita sekarang juga gak apa-apa sih. Besok kamu bisa cerita di kampus.” “Tapi, kamu habis dari mana ki, kok tengah malam gini kelayapan?” “Hahaha.. Dinaa Dina, aku gak kelayapan, tadi habis nganter si Tyo pulang, biasalah, maen di rumahku. Eh ya, aku balik dulu ya. Udah jam berapa ni, gak enak diliat tetangga. Kamu gak apa-apa kan sendiri.” “Iya gak apa-apa. Makasih ya udah mau anter pulang. Lagian udah ada Lisa sama Riri kok.” “iya udah deh.. sukur kalo ada temennya. Aku pulang dulu ya, sampe ketemu di kampus. Assalamu’alaikum.” “Wa’alaikumus salam.” Rizki meninggalkanku. Aku segera beranjak ke kamar sebelah. Menemui Lisa. Ku buka pintunya tanpa kuketuk. Namun, tiba-tiba bau amis meggelitik hidungku. Aaaaaaaaa.
Ada yang memegang bahuku. Ku tepis tangan itu, “Din, ada apa, kenapa kamu teriak?” “Rizki, ka.. kamu belum pulang.” “Tadi aku denger kamu teriak, makannya aku balik.” Aku menunjuk telunjukku ke dalam kamar Lisa. Ku lihat wajah Rizki menjadi pucat. “A.. ku telepon polisi. Ka .. kamu tenang ya Din.” Aku hanya bisa menangis pasrah. Tiba-tiba ku teringat Riri. Dimana dia.. aku segera ke kamarnya. Ku buka pintunya. Kulihat Riri sedang tidur pulas. Segera ku goncangkan tubuhnya. “Riii, bangun Ri.. Ririii.. Banguunn.” Ia menggeliat. “ada apa sih?” Tanyanya. Setelah ku menceritakan tentang Lisa, ia terlonjak kaget dan segera berlari ke kamar Lisa. Riri memelukku dan menangis sambil berteriak memanggil Lisa. Tak lama kemudian, polisi dan pihak rumah sakit datang. Mereka segera mengurus kejadian itu. Aku, Rizki dan Riri ikut mereka.

Aku masih terdiam di depan makamnya Lisa. Rizki mencoba menghiburku. Sedangkan Riri, kata mang Asep, pulang ke rumahnya sendiri di Jakarta. Mungkin dia masih shock melihat keadaan Lisa yang terbunuh. Hal ini lah yang membuatku penasaran. Siapa yang tega membunuh temanku. Rizki mengajakku pulang. Kutinggalkan Lisa sendirian di dalam tanah yang menggunduk. Ketika di gerbang, entah ada kekuatan apa tiba-tiba aku ingin menolehkan pandanganku ke dalam makam. Kulihat disana ada Lisa sedang duduk dan tersenyum padaku. Kubalaskan senyumku padanya. Dia pun menghilang. Aku segera pulang diantar Rizki.

Di kos hari ini sangat sepi. Tidak ada lagi suara tawa keras Lisa dan sikap konyol Riri. Segera kuhubungi Riri. Ku ingin bertanya padanya, kapan dia mau balik ke kos. Tidak aktif. Hingga malam itu… Terdengar lagi suara tangis. Ah, cukup! Aku sudah bosan dengan suara tangisan itu. Ku beranikan diri untuk melihat ke ruang bawah, dekat gudang. Meskipun agak merinding, tapi apa boleh buat. Ku buka pintu perlahan-lahan. Tidak dikunci. Kulihat ruangan itu. Bau busuk menyeruak di hidungku. Ya ampun! Perempuan itu, yang ada di bis kemarin. Perempuan itu menoleh padaku. Rasa dingin menyelimutiku, tentu saja dengan bulu kuduk yang berdiri. Glekk. Dengan susah aku menelan ludah. Pahit. Perempuan itu mendekat kepadaku. Aku hanya bisa diam, rasanya kaki ini berat untuk melangkah. Kututup wajahku dengan kedua tanganku. Tok tok tok.. Sepertinya ada suara ketukan pintu. Kuturunkan tanganku dan kubuka mataku dengan perlahan-lahan. Perempuan itu sudah tidak ada. Kemudian terdengar suara lirih. “Kamu harus pergi dari sini. Orang itu menuju kesini.” Aku tak mengerti apa maksudnya. Siapa orang itu? Siapa yang mau datang kesini? Tok tok tok.. Terdengar lagi suara ketukan pintu.

Aku segera menuju ke depan. Kubuka pintu. “maaf neng Dina, ada yang ketinggalan.” “Oh, mang Asep. Ketinggalan? Apanya yang ketinggalan?” “Kunci neng. Deket ruang bawah. Bisa tolong diambilin gak?” “Oh ya sudah.” Segera ku kembali ke tempat tadi. Tapi kemudian suara itu terdengar lagi, “Cepat pergi dari sini. Cepat pergi dari sini.” Tiba-tiba mang Asep datang menghampiriku dengan membawa pisau mengkilat di tangannya. Raut wajahnya telah berbeda. Agak menyeramkan dan seolah-olah dia benci melihatku. “Aku sudah bilang! Jangan pernah membuka ruang bawah. Kenapa kamu masih saja membukanya, hah!” Katanya sambil mengangkat tangannya yang sedang memegang pisau. “Ta.. tapi, aku penasaran mang. Ada suara tangisan.” Kataku sambil melangkah mundur karena ketakutan. Ia tidak menjawab, ayunan pisaunyalah yang menjawab pembicaraanku barusan. Aku segera membalikkan badan dan berlari menuju pintu depan, hendak keluar. Ah, sial. Terkunci. “Mau kemana kamu, hah!” Aku melihat ke belakang, dia tersenyum menakutkan. “Mang.. mang Asep kenapa mau membunuh saya? Apa jangan-jangan mang Asep juga yang telah membunuh Lisa?” “Hahaha.. Dasar bodoh. Tentu saja aku yang telah membunuh Lisa! Kamu kira perampok yang membunuhnya?” katanya dengan garang. “Kenapa mang Asep ngelakuin itu semua? Apa salahku, apa salah Lisa? Kenapa mang Asep tega?” “Ah! Sudah diam! Banyak omong kamu mah!” Mataku melihat ada payung di sebelah pintu. Segera ku ambil dan kupukulkan ke tangan dan kepalanya. Pisau yang dipegangnya terjatuh. “Kurang ajar!” Ini kesempatanku untuk lari, saat dia mengambil pisaunya di bawah kursi. Segera kututup dan mengunci pintu kamarku. Kenapa aku mencium bau aneh? Segera ku putarkan pandanganku melihat sekeliling kamar. Eh, tapi ternyata ini bukan kamarku, ini kamar Riri. Mataku melihat ada darah yang berceceran dari kasur sampai ke lemari. Ku buka pintu lemari. Hah! Ririiii… Aku terduduk dan tergolek lemas di lantai. Tubuh Riri terbujur kaku di dalam lemari dengan pisau yang menancap di perutnya. Tok tok tok.. “Heh, buka pintunya! Dina, cepat buka!” Aku segera bangkit dengan keadaan bingung. Kuraih handphone Riri yang tergeletak di meja. Kunyalakan dan segera kupencet nomor Rizki. “Assalamu’alaikum, halo?” “Ha.. Halo, Riz.. Rizki.. ini aku, Dina.” “Iya, ada apa Din..” “Tolong aku Ki. Aku takut, aku mau dibunuh.” “Apa? Sekarang kamu dimana?” “Aku di kos, di kamar Riri. Tolong aku ki.” “Oke oke, kamu tenang ya, aku segera kesitu sama polisi..” Brakk pintu terbuka. “Hahaha, mau lari kemana kamu Dina?” Sementara di seberang telepon, Rizki masih berbicara. “Halo.. Halo.. Din, Dina..”
Segera ku lempar buku-buku Riri ke arah mang Asep. Mang Asep kelimpungan. Dan tepat saat aku melempar penggaris patah, ujung penggaris itu menusuk matanya. Aaaaaarrrgghhh. Teriaknya. Segera aku berlari lewat jendela yang telah ku pecahkan. Kress.. Aduh, tanganku tergores pecahan kaca dan mengeluarkan darah segar. Aku tak menyangka, mang Asep masih kuat mengejarku. Aku berlari menuju pagar. Ah, ternyata pagarnya juga sudah dikunci. Ku obrak-obrak pagarnya, tiba-tiba aku merasakan ada tubuh yang menyatu dengan tubuhku. Aku merasa lebih kuat dari sebelumnya. Mataku merah menyala. Segera ku hampiri mang Asep dengan dendam. Ku raih kerah bajunya dan ku angkat tubuhnya, lalu kubanting. Mang Asep melemparkan pisaunya ke arahku, namun aku berhasil menghindar. Pisau itu tertancap di pohon dekat pagar.

Rizki dan 4 orang polisi datang. Dua orang polisi meringkus mang Asep, dua polisi dan Rizki menghampiriku.. “Din, kamu gak apa-apa kan? Aku khawatir banget… Din, kamu kenapa diam saja? Kenapa tanganmu dingin.” Aku menoleh ke arahnya tajam, sambil berkata dengan lantang, “Mang Asep dan temannya telah membunuhkuu. Mereka memperk*saku di bis saat tengah malam, setelah mereka puas, aku dibunuhnya dan dibawa ke ruang bawah di rumah ini. Teman mang Asep membunuh supir bis dan membakar bis itu, tapi untunglah, orang keji itu juga ikut terbakar. Sekarang kamu cek ke dalam dan lihatlah di ruang bawah itu!” Tiba-tiba aku merasa tubuh itu keluar dari tubuhku. Aku tergolek lemas. “Dina.” “Rizki, ayo kita ke dalam. Kuburkan mayat perempuan itu dan Riri.” Kataku dengan suara bergetar. “Apa? Bukannya Riri pulang ke Jakarta?” Aku menggeleng dan mengajaknya ke dalam. Setelah semua diperiksa dan diamankan, mayat-mayat itu dikubur secara layak. Besok aku berniat untuk pindah kos ke tempat yang lebih ramai dari sebelumnya.

Dalam dua hari, aku telah kehilangan dua teman terbaikku sekaligus. Pergi dan tak akan pernah kembali lagi. Setelah mendo’akan Lisa dan Riri, segera kulangkahkan kaki, ditemani Rizki. Ku lihat kembali ke belakang, Ada Lisa dan Riri tersenyum ke arahku. Semoga kalian tenang disana. Aku kan selalu mendo’akan kalian teman.

Cerpen Karangan: Rosa Lina
Facebook: di_cha3[-at-]hotmail.com

Read More
9 tahun ago
0 17
9 tahun ago
0 24
9 tahun ago
0 26

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Best Dating Sites
Platform Pengiriman Pesan Instan
Platform Sosial Media

Top Profiles
Siska Media di TikTok
10.0/10
Siska Media di TikTok
Channel Siska Media di Youtube
10.0/10
Channel Siska Media di Youtube