Jejak Kematian Di Lorong Sepi

Di lorong gelap, sepi dan dingin, tubuh kaku menelungkup itu menyeruakkan bau amis darah yang mengalir dari pangkal lehernya. Luka terkuak lebar hingga hampir memisahkan kepala dengan tubuh. Cairan kental berwarna merah tergenang di sekitarnya. Burung gagak hitam, memandang awas dari puncak pohon meranggas di luar lorong. Menjeritkan kicau parau mengabarkan kematian.

Musim hujan makin menggila di akhir tahun begini. Bisa-bisa hujan turun seharian penuh tanpa jeda. Berdiam di rumah adalah pilihan yang tepat untuk menghabiskan hari. Namun tidak bagiku, tepatnya tidak mungkin bagiku. Sebagai wartawan lepas untuk sebuah media massa on line, keluar rumah merupakan pilihan satu-satunya untuk mendapatkan berita terbaru dan terhangat langsung dari tempat kejadian. Semua bisa jadi berita bagiku sebab tidak ada berita, artinya tidak ada makanan.

Hujan yang turun sejak malam tadi mengakibatkan pagi ini menjadi dingin sekali. Sulit untuk menyentuh air tanpa merinding, cuci muka keputusan terbaik dari pada tidak sama sekali. Secangkir teh yang kubuat sebelum membasuh wajah di kamar mandi, masih mengepulkan asapnya. Cepat-cepat kusesap hingga rasa panas memeluk dada. Wuaahh, hangat sekali. Kutuntaskan teh pagiku dengan jantan, lalu cekatan tanganku menggamit jas hujan di atas rak. Mengenakannya dan membuka pintu rumah petak yang kusewa dari setahun yang lalu ini.

Saat pintu membuka, angin hujan menebas wajahku. Tak mau kalah, tubuhku pun lalu menghentak keluar menebas hujan berirama teratur ini, sebuah tanda bahwa hujan ini akan berlangsung lama. Jas hujan menutupi tubuh dan ranselku yang menggunung di punggung. Aku mungkin tampak seperti alien dari galaksi gulaguli. Bulir-bulir air hujan sudah sukses menggerayangi seluruh permukaan jas hujan milikku.

Mega, seorang kolegaku yang cantik jelita subuh tadi menelponku, kupikir ia ingin menyatakan cintanya padaku, karena malam itu aku baru saja bermimpi tentangnya, namun angan picisanku itu segera dipagut suaranya yang meninggi dan penuh antusias mengabarkan ada mayat pria ditemukan berdarah-darah di lorong yang menembus perut bukit, bekas rel kereta api jaman Belanda di sudut kota. Tempat itu sudah mati sejak lama, jarang dilalui orang-orang. Pengunjungnya hanyalah segelintir anak muda yang mencari tempat untuk menghisap s*bu-s*bu atau mabuk-mabukan. Sangat cocok untuk membuang mayat atau bahkan melakukan pembunuhan tanpa diketahui orang lain.

Aku sudah melihat Mega dari jauh, dia berdiri berbalut mantel hitam dan bernaung payung lebar merah marun. Matanya yang sendu dan penuh binar indah segera mendapati aku yang sedang tergopoh ke arahnya.

“Kau terlambat lagi, Amor…,” aku suka sekali dan sungguh bersyukur orangtuaku memberikan nama Amorgio Dunand, sehingga Mega bisa dengan leluasa memanggilku Amor yang berarti ‘cinta’ sepuasnya tanpa harus merasa malu. Dan juga, oke…, sayang sekali, tanpa harus merasakan cinta itu sendiri.

“Maaf, hujan menyenyakkan tidurku hingga berpuluh kali lipat!”

“Kebakaran keliling rumahmu pun tak akan mampu membangunkanmu, dasar tukang tidur. Ayo ke lokasi! Jalan saja lebih baik, hujan begini angkutan umum jarang lewat.”

Sepatu-sepatu kami berkecipak memijak genangan air hujan di sepanjang jalan. Benar, sudah hampir sampai di lokasi begini, belum ada satu pun angkutan umum yang berlalu. Prediksi yang hebat dari Mega. Di lokasi, sudah ada mobil polisi dan ambulan. Aku segera berlari sambil membuka separuh jas hujanku dan membiarkan separuhnya lagi menggantung di sebelah tubuhku. Aku meminta Mega menutupi tasku yang berisi kameraku agar tak kena hujan. Sambil berlari aku berhasil mengeluarkan kameraku, lalu bergegas mendekati lokasi kejadian. Mega ikut berlari memayungiku dari belakang.

Aku berhasil mendapatkan gambar mayat pria itu sebelum akhirnya petugas ambulan mengangkatnya ke dalam ambulan dan membawa jenazah malang itu pergi. Mega menginterview polisi dan beberapa saksi yang pertama kali menemukan mayat pria itu. Seperti biasa, dalam setiap peliputan setelah mendapatkan gambar-gambar yang penting, aku biasanya mencari-cari objek lain di sekitar TKP, mudah-mudahan ada yang unik yang bisa kujadikan koleksi foto.

Aku mengitari lorong menyapu pandanganku ke seluruh lorong beserta langit-langitnya. Lumut dan lukisan graviti usang menghias langit-langit lorong. Menjepret-jepret semua yang kuanggap menarik. Saat aku berjalan lebih jauh ke dalam, melampaui tempat mayat ditemukan, di dinding lorong sebelah kiri agak ke atas, aku menemukan noda merah berukuran lumayan besar.

Aku mendekat, membidikkan lensa kameraku dan menekan tombol zoom. Apa aku tidak salah lihat? Itu adalah jejak kaki darah. Jejak darah berbentuk kaki kanan manusia yang di sisi bawahnya mengakar aliran darah meleleh itu terlihat samar di antara lukisan graviti di dinding lorong. Tampaknya kaki itu tadi menginjak darah dan lalu menginjak dinding ini. Aku menyipitkan mata, dan membidik dengan cermat, menetapkan fokus pada kameraku dan menjepretnya beberapa kali dari berbagai sudut. Aku mencermatinya sekali lagi, ini darah baru, belum kering betul. Kalau pun benar ini jejak manusia, manusia apa yang bisa berjalan dengan cara vertikal seperti ini? Lalu jika memang dia mampu berjalan secara vertikal mengapa jejaknya hanya satu? Mana kaki kirinya? Apakah ia siluman berkaki satu? Lalu apa hubungannya dengan jasad pria itu? Kalau memang saling terhubung mengapa jejak kakinya tidak dimulai dari dimana tubuh pria itu tergolek? Ah…

Aku keluar, menemui Mega yang baru saja mewawancari seorang warga yang mengaku mendengar sebuah jeritan di malam itu dari lorong ini. Aku masih terdiam, memikirkan tentang sebuah jejak kaki darah di dinding lorong. Aku masih menimbang-nimbang apakah ini kulaporkan pada pihak kepolisian, atau kudiamkan saja dan kuselidiki sendiri. Namun, entah bagaimana, sebuah suara dari hatiku mendesakku untuk menyelidiki ini sendiri, lalu nanti kalau sudah berhasil akan menerbitkannya menjadi sebuah berita yang bombastis. Pasti bonus akan mengalir lancar ke kantong keringku ini. Dan sebuah dinner mewah akan kupersembahkan khusus untuk Mega.

“Kau kenapa Amor? Kok diam saja?”

“Tidak apa-apa… Ayo ke café biasa, aku belum sarapan. Kita sarapan dan sekalian kita tulis berita ini. Mungkin hari ini akan ada banyak berita menarik lainnya yang menunggu untuk kita liput.”

“Wuah, bersemangat sekali hari ini, Bung! Santailah sedikit, kita sudah menang dengan berita ini, kau lihat tadi? Tidak ada kan wartawan lain yang meliput? Mereka semua terlambat!! Hahaha…,” Mega melirik pada beberapa wartawan yang baru sampai di lokasi kejadian.

“Wuah, iya aku baru sadar… ayolah, aku sudah lapar!!”

Sepiring nasi goreng dengan telur mata sapi sampai di mejaku, menerbitkan liur. Segera kugamit sendok dan garpu lalu melahapnya ganas. Sementara Mega masih terus saja mengaduk-aduk bubur ayam pesanannya.

“Kenapa Ga?”

“Gak selera…,”

“Kenapa?”

“Hanya orang aneh yang tetap punya selera makan tinggi saat baru saja sedetik yang lalu menyaksikan orang yang hampir putus kepalanya…,” erangnya.

Aku terdiam, tak jadi menelan nasi goreng yang sudah kumamah. Melotot padanya. Dia tergelak dan aku melanjutkan proses penelanan nasi goreng dengan tuntas.

“Maksudmu?”

“Hahahaha… aku bercanda. Ada baiknya aku menulis dulu,” Mega mengeluarkan notebooknya, siap untuk menulis berita pembunuhan penuh misteri itu.

Malam itu hujan mulai mereda, hanya gerimis ringan. Aku merapatkan jaketku, kurasa sebuah jaket sudah cukup untuk gerimis tipis begini. Niatku malam ini adalah kembali ke lorong itu. Menemukan bukti-bukti lain, yang mungkin bisa menguak misteri pembunuhan ini. Sebuah garis polisi melintang di mulut lorong, aku merunduk melampaui pita berwarna kuning itu. Bekas-bekas darah masih dibiarkan utuh, mungkin guna keperluan proses penyelidikan. Seram sekali berada di lorong malam-malam begini, apa lagi tadi, di sini, terbaring mayat korban pembunuhan. Tapi kutepis semua itu, demi menggemukkan rekeningku. Dengan bantuan semburat cahaya tipis dari lampu jalan di luar lorong aku berjalan masuk. Burung gagak tak henti meraung. Menambah nuansa mistis yang mampu menaikkan bulu roma siapa saja.

Aku sudah sampai di sisi dinding di mana jejak itu tadi pagi kutemukan. Aku menggamit senter dari kantong yang memang sudah kupersiapkan sejak tadi. Kusorotkan lampu senter ke sisi dinding. Benar, jejak itu masih ada di sana. Aku menebar sinar senter ke segala arah, berharap menemukan pertanda lain yang bisa membantu investigasiku ini. Tidak ada apa-apa lagi selain lumut dan lukisan graviti pudar. Aku kembali memfokuskan cahaya senter pada jejak darah. Setelah lamatku perhatikan, sepertinya ada yang berubah dari bentuk jejak itu, tumitnya sudah mulai menghilang. Sepertinya ada seseorang yang berusaha menghapusnya dengan sesuatu. Wuah ini menarik!! Siluman, monster atau apa pun itu sadar, bahwa dia telah meninggalkan jejak yang bisa membongkar kejahatannya. Tapi siluman yang bagaimana pula yang takut akan kejahatannya terbongkar? Ini semakin misterius namun semakin menarik. Aku mengeluarkan kameraku dan kembali menjepret jejak itu sebagai dokumentasi dan bukti.

Tring!!! Tiba-tiba otakku menemukan suatu rencana. Aku tahu apa yang harus aku lakukan. Monster pembunuh ini belum selesai dengan pekerjaannya di sini karena suatu hal, pasti ia akan kembali untuk menghapus jejak ini hingga hilang seluruhnya. Dan aku harus bersembunyi di suatu tempat dan siap dengan kamera di tangan. Siap untuk menjepret mahkluk apa pun yang datang untuk menghapus jejak darah itu. Ya, ya… yaa…, kadang-kadang aku cerdas juga.

Setengah berlari aku berlari menuju ujung lorong, di sana ada bekas dinding yang hampir roboh yang bisa dipergunakan untuk bersembunyi dan bisa memandang bebas ke dalam lorong. Aku jongkok di sebalik dinding, menggenggam kameraku dan memasang telinga dengan baik. Berusaha menangkap suara apa pun yang hadir di kesunyian ini. Hujan yang sudah reda, sungguh membantu aku mendengarkan suara yang ingin kudengar.

Sepuluh menit berlalu, hanya lolongan anjing dan deru kendaraan dari kejauhan yang terdengar. Belum ada tanda-tanda mencurigakan dari dalam lorong. Aku sudah mulai bosan. Perutku sudah berderik-derik kelaparan, aku baru ingat belum makan malam, ah sebegini parahnya kah pekerjaan sebagai detektif itu? Aku bersumpah tak akan mau jadi detektif. Tak sampai semenit kemudian, jantungku menegang, ada suara langkah berderap pelan dari dalam lorong. Itu dia!!!! Ya Tuhaaan… lindungilah hambamu ini. Aku tak tahu kapan harus menjepretkan kameraku ke arah lorong. Tapi instingku berujar nanti saja. Suara derap langkah berhenti, disusul kemudian suara dinding digosok-gosok oleh sesuatu.

Yap!! Ini saatnya kameraku bertugas.

“Jepreeett!!! Jepreett! Jepreett!” lampu blitz menyala-nyala ke dalam lorong. Aku hanya menjulurkan lenganku ke luar tembok ke arah lorong. Tanpa sebilah nyali pun untuk menyaksikan mahkluk apa nun di dalam lorong sana. Setelahnya, aku lintang pukang berlari ke rumah.

Dengan dada berdegup super kencang, aku mendentumkan pintu rumahku. Dan bersandar di daun pintu yang telah terkatup, aku merosotkan tubuhku ke lantai dan memandang kameraku. Aku merasakan bibirku bergetar keras. Lalu aku merutuki diri betapa pengecutnya aku. Takut-takut kutekan tombol pada kamera yang berfungsi untuk menampilkan foto-foto yang sudah diambil. Sesosok manusia siluman mengerikan yang bertengger dan menempel ringan secara vertikal di dinding lorong tampil di foto. Membelalakkan mataku dan hampir memberhentikan jantungku.

Aku menekan tombol off dengan susah payah karena tanganku bergetar hebat sekali. Aku menarik napas terus-menerus berusaha mendatangkan keberanian pada diriku. Takut sudah merajaiku. Mahkluk apa itu? Kalau dia adalah sejenis makhluk yang tak suka dirinya diabadikan dalam foto lalu dia marah dan mengejarku bagaimana? Siaal! Belum sempat aku menetralisir rasa takutku. Suara ketukan pintu melonjakkan tubuhku.

“Si… si… apaa?” tanyaku terbata. Sang pengetuk tak menjawab. Dia hanya mengetuk pintu rumahku itu tiga kali lagi.

Jangan-jangan ini mahkluk tadi. Kacau! Mati akuuu! Bisa-bisa besok aku yang jadi berita. Tidaaakkk!!!

“Si… si… siapa…? Kalau tidak menjawab tidak akan kubukakan pintu…”

“Ini aku, Megaa… Buka, Amoorr!”

Aku menarik napas lega, ah ternyata cuma Mega. Aku berdiri, menarik napas dalam dan mengeluarkannya melalui mulut. Merapikan rambut dengan sepuluh jariku dan menata-nata bajuku yang sedikit berantakan. Perlahan aku membuka pintu.

“Oh, kau Mega, ada apa malam-malam begini?”

“Boleh aku masuk dulu? Biar kuceritakan di dalam?”

Aku mengangguk keras, “Oh tentu saja!” untuk kau bidadariku apa yang tidak kuberi.

Mega duduk dengan santai di satu-satunya sofa, di ruang depan rumahku. Dia sungguh seksi malam ini. Ah andai saja… Upsss… buyarkan pikiran kotor, Amorrr!!!

“Aku boleh lihat kameramu itu tidak?”

“Ini?” aku mengangkat kamera yang sejak tadi kugenggam. “Untuk apa?”

“Tidak ada apa-apa, cuma mau lihat saja, boleh kan??”

“Boleh saja, tapi tidak ada yang penting, cuma foto mayat yang tadi pagi. Ah sudahlah tidak usah nanti kau jadi tidak selera makan. Kubuatkan kopi yaa??”

Aku berbalik, Mega berdiri dan menyentuh pundakku dari belakang. Sentuhannya dingin sekali, sedingin es yang menusuk hingga ke kulit, padahal aku sedang memakai jaket tebal. Aku berbalik, betapa tercekat saat mendapati wajahnya yang pucat dan tersenyum aneh. Dan senyum itu bukan senyuman Mega yang manis seperti biasa. Senyum itu mengerikan.

“Benarkah tidak ada foto yang penting?” suaranya lembut, namun mampu membangkitkan bulu kuduk.

“Ten… tentu saja benar…,” jawabku terbata. Mega membebat langkahku, ia sudah di depanku kini.

“Foto yang baru kauambil beberapa menit yang lalu itu bagaimana?”

Jepp!! Jantungku seolah terhenti, bagaimana Mega bisa tahu?? Sudah kuyakinkan tidak ada siapa pun di sana tadi.

“Maksudmu??”

Mega tak menjawab pertanyaanku, ia lalu menarik paksa kamera di tanganku. Menekan tombol on dan menunjukkan foto seram itu tadi padaku.

“Ini!!” suara Mega meninggi dan berubah serak.

“Bagaimana kau bisa tahu??” Rasa takut dan khawatir kembali memelukku.

“Karena yang kau foto ini adalah AKUUU!!!” tubuh Mega serta merta membiru, matanya merah menyala, dua bilah taring menyilau dari sela bibirnya. Kuku-kukunya hitam memanjang.

“Mee… mee… gaaa?”

Aku beringsut mundur, mataku tidak mempercayai ini dan berharap ini hanya mimpi aneh tentang Mega yang selama ini kualami tiap malam karena aku terlalu mencintainya diam-diam. Aku menggelengkan kepala, menutupnya sebentar dan membuka lagi. Sosok menyeramkan itu masih ada di sana. Kuku tajamnya melayang di udara seinci di depan leherku.

“Kauuu… haruuus matiiii…,” suara Mega sudah berbeda, serak dan dalam.

“Megaaa… ini akuuu… aku mencintaimu sayang… bahkan jika kau adalah seorang silumaann!!”

Ah, apa tadi itu? Aku menyatakan cinta dalam keadaan seperti ini? Bodoh!

“Tidaaakk… tidaakk ada yang boleh mengetahui keberadaan kamii… itu berbahaya!”

“Kamii? Masih ada yang sepertimu di luar sana?”

“Yaaa… Maafkan aku Amooorrr… ini adalah balasan sepadan untuk orang yang selalu ingin tahuuu…”

Mega menebaskan kuku tajamnya ke leherku. Aku roboh dengan kepala nyaris putus. Darahku muncrat kemana-mana, lalu darah mengalir deras dari robekan leherku. Mataku membelalak dengan mulut menganga. Sungguh mengerikan, persis seperti kondisi mayat pria yang kufoto tadi pagi.

Mega menerobos masuk ke deretan polisi yang sudah berkerumun di rumahku. Mengambil gambarku yang tewas mengenaskan dan mewawancarai beberapa polisi. Ia tersenyum di atas mayatku sebelum berlalu pergi untuk menulis berita kematianku. Dan lagi-lagi dialah wartawan pertama yang berada di lokasi kejadian untuk meliput berita. Dasar siluman keji.

Medan, 2013

Cerpen Karangan: Yunita R Saragi
Facebook: Yunita Ramadayantie Saragi

Read More
9 tahun ago
0 9
9 tahun ago
0 15
9 tahun ago
0 13

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Best Dating Sites
Platform Pengiriman Pesan Instan
Platform Sosial Media

Top Profiles
Siska Media di TikTok
10.0/10
Siska Media di TikTok
Channel Siska Media di Youtube
10.0/10
Channel Siska Media di Youtube