Data buku kumpulan puisi
Judul : Semesta Maulana Rumi
Penulis : Jalaluddin Rumi
Penerjemah : Abdul Hadi W.M.
Cetakan : I, Februari 2016
Penerbit : DIVA Press, Yogyakarta.
Tebal : 276 halaman (143 puisi)
ISBN : 978-602-391-117-2
Editor : Rusdianto
Tata sampul : Ong Hari Wahyu
Tata isi : Violetta
Pracetak : Antini, Dwi, Wardi
Semesta Maulana Rumi dibagi ke dalam 2 bagian, yaitu Matsnawi (39 puisi) dan Diwan Shamsi Tabriz (104 puisi)
Beberapa pilihan puisi Jalaluddin Rumi dalam Diwan Shamsi Tabriz
73
Bulan puasa telah datang, larangan raja mulai
berlaku; jauhkan tanganmu dari makanan, hidangan
rohani telah tersedia.
Roh telah terbebas dari pengasingan dirinya dan
membekuk tangan tabiat; hati sesat telah kita taklukkan
dan pasukan iman telah sampai.
Bila pendengkur telah angkat-tangan siap ditawan,
dari api penyala api jiwa datang dengan ratapan.
Sang lembu begitu molek, Musa bin Imran muncul;
melalui ia si mati hidup kembali bila badannya telah
menempuh upacara korban.
Puasa adalah upacara korban kita, ia adalah
kehidupan bagi jiwa kita; mari kita korbankan badan
kita, karena jiwa telah datang menjadi tamunya.
Iman yang teguh adalah awan lembut, kearifan
adalah hujan yang tercurah darinya, karena di bulan
iman ini Al-Qur’an diwahyukan.
Bila jiwa badani dikendalikan, roh akan mi’raj ke
langit, bila pintu penjara dirubuhkan, jiwa sampai ke
pelukan Kekasih.
Hati telah menukar tabir gelapnya dan mengepak
sayapnya ke angkasa, hati, yang berwujud malaikat,
sekali lagi tiba di tengah mereka,
Tangkap cepat tali dari badannya; di atas perigi
teriakkan, “Yusuf dari Kana’an telah tiba!”
Ketika ‘Isa tercampak dari keledainya maka doanya
diterima Tuhan, cucilah tanganmu, karena Hidangan dari
langit telah datang.
Cuci tangan dan mulutmu, jangan makan atau
bercakap-cakap; carilah kata dan suapan nasi yang
diturunkan bagi ia yang diam.
53
Kawan, adakah gula lebih manis dari Ia yang
mencipta gula? Kawan, adakah bulan lebih indah dari Ia
yang mencipta bulan?
Lupakan gula, lupakan bukan; Ia kenal yang lain, Ia
dapat menciptakan yang lain.
Di laut bertaburan benda mempesona yang lain
kecuali mutiara, namun tiada yang menyerupai Maharaja
pencipta laut dan mutiara.
Di balik air ada air lain yang memancur dari pintu
air gaib; tanpa tidur dan kenal lelah Ia memberi makan
kepada hati kita.
Tanpa pengetahuan tak mungkin kaubisa
menyaring minyak dari gemuk; pengetahuanlah yang
membangunkan penglihatanmu sehingga mampu
membedakan minyak dari gemuk.
Tanpa pengetahuan tak mungkin menunjukkan
bayangan kolam air; mana mungkin Pengetahuan lahir
sebelum kau pandai dan sadar.
Jiwa-jiwa bingung, tanpa makan dan minum, ketika
mengingat hari puasanya yang indah yang Ia turunkan
pada waktu subuh.
Subuh yang indah, karena keputusasaan setiap
bulan menjadikan kedua tangan-Nya ikat pinggang yang
melingkari pinggangku.
Langit sana menertawakan kumis buatan orang
yang penuh tipu-muslihat itu; tongkat mainan itu
menjelmakan dirinya keledai ketika melatih dua atau tiga
ekor keledai.
Keledai itu menjerumuskan dirinya ke dalam emas
seakan ke dalam butir-butir jelai; ia tak peduli pada Raja
yang mencipta emas dari batu-batuan.
Tapi bagiku cukup, terlalu cukup, aku telah
meninggalkan uap awan; Kekasih akan berkata, ialah
yang mengubah telinga menjadi mata.
26
Seratus genderang kami pukul di dalam hati;
gemanya akan kami dengar esok.
Selaput kapas di telinga, bulu di mata – merekalah
saksi kami esok, bisikan lembut duka-cita.
Campakkan api Cinta ke selaput kapas ini, seperti
Al-Hallaj dan orang-orang suci yang lain.
Mengapa kausimpan api dan kapas bersama-sama?
Mereka berlawanan, dan di antara yang berlawanan tak
ada yang menang.
Sebab pertemuan Cinta telah dekat, bergembiralah
menuju hari pertemuan itu.
Bagi kami, mati adalah kegembiraan dan pertemuan;
jika bagimu duka-cita, pergilah dari tempat ini.
Sebab dunia yang sekarang ini adalah penjara bagi
kami, keruntuhan penjara tentulah akan menjadi sumber
kegembiraan.
Jika ada yang memandang penjara menyenangkan
– betapa pulakah istana-Nya karena Ialah yang
menghiasi dunia?
Jangan cari kesetiaan dalam penjara ini, karena
kesetiaan dari tempat ini tak dapat dipercaya.
50
Bagaikan kulit kerang demikianlah hatiku ini, dan
bayangan Kekasih adalah mutiaranya; kini aku tak lagi
berisi, kulit kerang ini sudah sarat dengan-Nya.
Malam membukakan bibir jiwaku dengan kata-
katanya yang lembut; aku takjub ketika ia berkata,
“Kebenaran itu pahit.”
Makanan manusia fana berasal dari luar dirinya,
tapi makanan orang cinta berasal dari dalam dirinya;
pencinta muntah dan makan, karena dirinya serupa unta.
Mudahkan dirimu lenyap bagaikan peri, lepaskan
dirimu dari tubuhmu; bertelanjang haram hanya bagi
orang yang kulitnya ber-kudis.
Salaluddin tiba di padang perburuan; semua singa
menjadi mangsanya; lelaki ini adalah hambanya yang
bebas dari belenggu dua alam kehidupan.
58
Matilah sekarang, matilah sekarang, matilah dalam
Cinta ini; bila kau telah mati dalam Cinta ini akan
kauperoleh hidup baru.
Matilah sekarang, matilah sekarang, dan jangan
takut akan kematian ini, karena kau akan terlepas dari
duka bumi dan naik ke langit.
Matilah sekarang, matilah sekarang, bebaskan jiwa
badani yang terikat pada badan ini seperti tawanan yang
terbelenggu.
Ambil kapak, rubuhkan penjara ini; bila penjara ini
telah kaurubuhkan, kau akan menjadi raja dan pangeran.
Matilah sekarang, matilah sekarang di hadapan sang
raja rupawan; bila kau telah mati di depan sang Raja, kau
akan meningkat jadi raja dan kesohor ke seluruh penjuru
dunia.
Matilah sekarang, matilah sekarang dan bebaskan
dirimu dari arakan mendung yang hitam ini; bila
kaubebas dari mendung hitam ini, kau akan memperoleh
cahaya kemilau bulan.
Diam, diam; diam adalah tanda kematian; karena
memburu hiduplah kaulari dari ia yang diam.
41
Cinta tak bersemayam dalam ilmu dan dogma,
tidak dalam buku atau halaman buku; betapapun orang
mengatakannya, jalan itu bukan jalan pencinta.
Ketahuilah bahwa dahan cinta menjulang di dunia
fana dan akarnya terpendam di alam baqa; pohon ini
tidak berdiri di atas langit dan bumi, tanpa kaki.
Telah kami singkirkan akal, telah kami kendalikan
hawa-nafsu, karena akal dan hawa-nafsu tak bisa
dipercaya.
Selama kau terpaut pada nafsu, ketahuilah nafsumu
akan menjadi berhala bagimu; jika kau telah menjadi
orang yang dicinta, tak perlu lagi nafsu.
Pelaut selalu terombang-ambing antara pelampung
ketakutan dan harapan; suatu kali pelampung dan pelaut
akan lenyap, tak ada lagi harapan kecuali karam.
Shamsi Tabriz, dulu kau laut dan mutiara, wujudmu
tiada selain rahasia sang Pencipta.
40
Kawan-kawan, mari berkumpul, belum waktunya
tidur; demi Allah, kawan yang tidur bukan kawan yang
sebenarnya.
Siapa yang memalingkan tubuh dan menangis
ketika kincir-kincirnya diputar takkan dapat melihat
pemandangan taman dan sesat jalan menuju taman.
Kau yang telah mengenal keinginan hati di dunia air
dan tanah, lari menuju sungai yang kering itu.
O bulan, muncullah kau dari relung hati langit dan
ubahlah malam menjadi siang, supaya pengembara
malam membisu tak bisa mengucapkan, “Malam ini
bukan malam saat bulan muncul.”
Supaya hatiku tahu di mana Kekasih berada, jika
hatiku tak bergetar seperti air raksa karena cinta
pada-Nya.
17
Sebuah taman – moga berbunga mawarnya sampai
hari kiamat; sebuah berhala – moga bertaburan dua
alam atas keindahannya.
Di siang hari pangeran orang rupawan berangkat ke
medan perburuan – moga hati kami tertembus sasaran
panah kilatan matanya!
Pesan apa yang ia bisikkan lewat kerdipan matanya
– moga terbuka kelopak mataku riang dan mabuk oleh
pesannya.
Kubongkar pintu seorang pertapa; ia melarangku
seraya menghardik, “Pergi! Moga seluruh harimu berlalu
tanpa ketenteraman!”
Kuucapkan terima kasih atas kata-katanya, kemudian
pergilah ia meninggalkan aku tanpa belas-kasihan, ia
haus akan darahku – moga Tuhan melindunginya!
Bagaikan bulan tubuhku remuk dijauhkan dari cinta;
dan hatiku bagaikan kecapi sang Venus – moga bergetar
tali senarnya!
Jangan puja bulan yang muram, tanah Venus yang
kerontang; pujalah kesedihan lembutnya – moga
berlipat ganda!
Siapa mempelai dalam jiwa? Karena sinar wajahnya
dunia bercahaya kembali dan menjelma tangan yang
menyampaikan selamat menempuh hidup baru.
Jangan puja kepermaian dunia, yang busuk dan
mudah runtuh; pujalah kepermaian jiwa – moga
kauhidup dan mempesona selama-lamanya.
Tanpa cahaya tubuh ini bagaikan gagak, dan alam
tubuh adalah musim dingin yang beku; sangkallah
mereka yang menimbulkan bencana ini – moga musim
semi kekal selama-lamanya.
Sebab mereka hidup dari empat anasir – moga
hamba-hambamu ini hidup dari lebih empat anasir.
8
Pernah kaulihat pencinta yang demikian kepayang
akan berahi ini? Pernah kaulihat ikan yang demikian
mabuk pada lautan ini?
Pernah kaulihat wayang yang minggat dari
pengukirnya? Pernah kaulihat Wamiq bertobat pada
Adhra?
Waktu berpisah, pencinta bagaikan nama tanpa
makna; namun sebuah makna seperti kekasih tak perlu
nama lagi.
Kau laut, aku ikannya – genggam aku menurut
maumu, beri aku tujuan, tunjukkan wibawa raja – tanpa
kau, aku akan terlunta-lunta.
Raja perkasa, apa yang kurang dari penunjuk jalan
ini? karena kau tiada, api menjulang tinggi.
Jika api melihatmu, ia pasti menyingkir; karena itu
siapa saja yang memetik mawar dari unggun api, api
akan memberi mawar yang indah mempesona.
Tanpa kau dunia adalah siksaan bagiku, mungkin ia
akan sirna bila kau tiada; demi hidup kumohon ini, tanpa
kau hidup adalah aniaya dan derita bagiku.
Bayang-bayangmu bagaikan seorang sultan yang
sedang tamasya dalam hatiku, malahan bagaikan
Sulaiman ketika berjalan menuju mesjid Al-Aqsa di
Yerusalem.
Ribuan lentera menyala, tabir segala masjid
tersingkap; surga dan Telaga Kautsar dikelilingi Ridwan
dan bidadari-bidadari.
Terpujilah Tuhan, terpujilah Tuhan! Di Surga
ribuan bulan bersinar terang. Rumah suci ini pun
dihuni malaikat dan bidadari-bidadari, hanya mereka
tersembunyi dari mata si buta.
Burung molek dan bahagia itulah yang bersemayam
dalam cinta! Siapa bisa mencapai puncak gunung Qaf
kecuali burung ‘Anqa?
Molek si ‘Anqa mulia, maharaja Shamsi Tabriz! Ialah
Matahari yang tak berasal dari Barat ataupun Timur, tak
dari mana pun.
45
Setiap kali bisikan lembut cinta terdengar dari kanan
dan kiri; kami mi’raj ke langit – siapa mau melihat?
Dulu kami adalah penghuni Surga, kami adalah
teman para malaikat; biar kami semua kembali ke sana,
karena surga itulah kota kami.
Malah kami ini lebih luhur dari langit, lebih mulia
dari malaikat; mengapa kami takkan bisa melampaui
mereka? Tempat semayam kami adalah Tuhan Yang
Mahabesar.
Betapa jauh alam debu ini dari hakikatnya yang
terdalam. Mengapa kauharus tergantung padanya?
Mi’rajlah – tempat ini apa namanya?
Keberuntungan adalah sahabat kami, memuliakan
derajat jiwa adalah urusan kami; gembala kafilahnya
adalah Muhammad, Kebanggaan Dunia.
Oleh bulannya bulan terbelah dua, kami sudah tak
sabar ingin melihat wajahnya; bulan beruntung, sebab ia
adalah pengemis yang hina.
Ciuman lembut angin sepoi berasal dari pilihan
rambutnya yang ikal, kilatan petir berasal dari pipinya
yang menyerupai tengah hari.
Lihat, dalam hati kami setiap bulan terbelah dua;
untuk apa matamu harus menerawang tinggi ke seberang
khayal dari khayal?
Umat manusia bagaikan angsa, mereka berasal dari
lautan roh; apa bisa burung yang berasal dari lautan itu
bertempat-tinggal di sini?
Malah lebih dari itu, kami adalah mutiara dari lautan
roh, kami semua berada di sana; mengapa ombak atas
ombak bergelombang naik dari lautan hati?
Gelombang besar memukul dan menghantam kapal;
bila kapal karam suatu kali, maka pelayaran lebur dan
menghadap tibalah.
99
Aku telah mati, aku berubah jadi hidup; aku
menangis sejadi-jadi, aku menjadi tertawa-tawa; tenaga
cinta muncul dan aku menjadi tenaga kekal.
Mataku kenyang, jiwaku tegap, kumiliki hati singa,
aku menjadi Venus berkilau-kilauan.
Ia berkata, “Kau belum nanar maka belum layak
tinggal di rumah ini.” Aku pergi dan menjadi nanar, aku
terikat dalam belenggu cintanya.
Ia berkata, “Kau belum mabuk, pergilah, kau belum
anggota kumpulan ini.” Maka aku pergi dan menjadi
mabuk, kemudian hanyut dalam kegembiraan.
Ia berkata, “Kau belum mati, jiwamu belum lebat
dengan hujan kegembiraan.” Seketika aku mati dan rebah
di muka wajahnya yang berlimpah berkah.
Ia berkata, “Kau pandai memperdaya, mudah mabuk
oleh rayuan dan keragu-raguan.” Seketika aku menjadi
bodoh, menjadi penempuh jalan lurus dan tetap tinggal
dalam segala-galanya.
Ia berkata, “Kau telah mengental jadi lilin, kiblat
tarekat ini.” Aku bukan tarekat, aku bukan lilin, aku telah
mengepul menjadi asap.
Ia berkata, “Kau adalah guru dan pimpinan, kau
adalah pemimpin dan penunjuk jalan.” Aku bukan
guru, aku bukan pemimpin, aku adalah hamba dari
perintah-perintahmu.”
Ia berkata, “Kaupunya roda dan sayap, aku takkan
memberimu sayap dan roda.” Karena aku menginginkan
roda dan sayapnya itulah maka aku tak punya sayap dan
tenaga lagi.
Keberuntungan baru berkata kepadaku, “Jangan
lalui jalan ini, jangan berduka, lewat kemuliaan dan
kemurahan sekarang ini aku datang padamu.”
Cinta lama berkata padaku, “Jangan bergeser sedikit
pun dari kandungan dadaku!” Kukatakan, “Ya, aku
takkan bergeser sedikit pun, aku akan tetap diam dan tak
bergerak sedikit pun.”
7
Raja telah datang, raja telah datang; potong jari-
jarimu, puji si tampan dari Kana’an.
Karena jiwa dari segala jiwa telah datang, mengapa
kita mesti bertanya tentang jiwa lagi; tidakkah dengan
kehadirannya jiwa kita akan diperlihara sebagai korban?
Tanpa cinta aku telah menjadi orang sesat jalan;
cinta sekonyong-konyong datang.
Mula-mula aku ini gunung, kemudian berubah jadi
jerami makanan kuda sang raja.
Orang Tajik atau Turki, hamba ini dekat dengannya
bagaikan roh dan badan; badan sajalah yang tak
mengenal roh.
Lihat, sahabat-sahabatku mulai berdatangan,
betapa senangnya; tiba saatnya untuk meringankan
beban pikiran, Raja Sulaiman sedang melangkah menuju
singgasananya, mendepak setan.
Mengapa kau diam? Angkat kakimu segera! Mengapa
kaujadi layu dan ragu? Jika tak tahu jalan menuju istana
Raja Sulaiman, tanyakan burung hudhud jalan menuju
singgasananya.
Sampaikan doa-doamu di sana, katakan niat dan
keinginanmu yang terpendam; Raja Sulaiman tahu
bahasa sekalian burung.
Percakapan adalah angin yang bertiup, o
penghamba, dan membuat bingung hatimu. Namun
ia memerintahkan, “Hai, orang yang tercerai-berai,
berkumpullah semua!”
104
Kita hidup di bawah naungan cahaya Raja, kita asing
dan mirip sekali.
Jiwa badani ini bagaikan serigala, tapi dalam hatiku
yang rahasia kita lebih rupawan dari Yusuf si raja Mesir.
Bulan menyesali kesombongannya ketika kita
tunjukkan wajah kita yang sebenarnya;
Bulu dan sayap matahari tertelan ketika kita
mengembangkan bulu dan sayap.
Rupa manusia hanyalah pembungkus; kita adalah
kiblat semua sembahyang.
Sebutkan napas itu, jangan lihat Adam dalam diri
kita, karena kita bisa menerbangkan jiwa kita dengan
kemuliaan.
Iblis asing memandang kita, dilihatnya kita ini
terpisah dari Tuhan.
Shamsi Tabriz hanya alasan yang dicari-cari; kitalah
sebenarnya yang bersemayam dalam keindahan itu,
kitalah.
Demi badan, sampaikan kepada mereka, “Ialah raja
yang mulia dan kami adalah pengemisnya.”
Apa yang harus kulakukan karena ia adalah raja dan
kita hanya pengemisnya? Kita akan senang jika merasa
pantas duduk di sampingnya.
Kita fana dalam keindahannya; dalam kefanaan itu
ia bukan ia dan kita bukan kita.
34
Mari, mari, kuntum mawar sudah mekar; mari, mari,
Kekasih telah datang.
Serahkan seluruh jiwa dan hidup; sampaikan pada
Matahari yang sebentar lagi naik memancarkan sinarnya.
Tertawakan si jelek yang penuh lagak; tangisi kawan
yang tercerai dari Kawannya.
Seluruh kota ribut mendengar kabar bahwa si gila
sekali lagi lepas dari pasungan.
Lihat, hari apakah ini, seperti inikah hari
kebangkitan? Segala suratan amal orang dengan cepat
melayang ke langit.
Pukullah genderang, jangan bercakap-cakap lagi;
tempat macam apa yang disediakan di situ bagi hati
dan pikiran? Roh pun lari secepat kilat ke tempat itu.
Beberapa pilihan puisi Jalaluddin Rumi dalam Matsnawi
SUFI SEJATI
Apa yang membuat orang jadi sufi? Hati yang bersih.
Bukan baju yang kumal dan nafsu yang liar.
Mereka yang terikat pada dunia telah memakai namanya.
Namun segala ampas dapat ia saring sari murninya;
Sufi sejati mudah dalam kesulitan, riang dalam bencana.
Hantu-hantu pelindung yang menjaga gapura istana
Keindahan.
Dan mengurung tempat yang tenteram itu dengan
pentungan menakutkan
Akan memberi jalan kepadanya, dan tanpa kenal takut ia
pun lewat.
Seraya memperlihatkan panah sang Raja, masuk ke
dalam.
YANG MENERANGKAN CINTA ADALAH CINTA SENDIRI
Hati ngilu inilah yang membaringkan berahi telanjang pencinta:
Tiada sakit dengan hati yang menyemburkan luka seperti itu.
Cinta adalah rasa pilu karena berpisah, tanda
Dan bola kaca rahasia-rahasia Tuhan.
Apakah ia buatan langit ataupun bumi
Cinta akan membimbing kita ke Sana pada akhirnya.
Pikiran akan gagal menerangkan cinta
Seperti keledai di lumpur: Cinta sendirilah pengurai cinta.
Tidakkah matahari sendiri yang menerangkan matahari?
Kenali ia! Seluruh bukti yang kaucari ada di Sana.
TAK TERLAHIRKAN
Jika ada yang mengatakan kepada benih di rahim, “Di
luar sana ada sebuah dunia yang sangat tertib,
Sebuah bumi yang menyenangkan, luas-lebar, penuh
kesenangan dan banyak makanan;
Gunung, lautan, lembah-lembah, taman-taman
semerbak dan sawah-ladang ada di sana;
Langitnya begitu tinggi dan terang, sinar matahari,
cahaya bulan dan bintang tak terkira;
Keajaibannya tak terlukiskan: mengapa kautinggal,
mereguk darah, di dalam periuk kotor dan penuh
kesengsaraan ini?
Benih, sebagaimana benih, tentu akan berpaling tak
percaya; sebab orang buta tak punya angan-angan.
Begitulah di dunia ini, apabila orang alim menceritakan
ada sebuah dunia yang tanpa semerbak dan warna,
Tak seorang di antara sekalian orang bodoh mau
mendengar: nafsu angkara adalah rintangan paling
kukuh dan kuat.
Begitupun dengan hasrat benih akan darah yang telah
mengasuhnya di tempat hina,
Telah mencegahnya melihat dunia, sehingga sejak itu
makanannya tak ada selain darah.
SEBUAH TIDUR DAN SEBUAH KEALPAAN
Seseorang yang telah bertahun-tahun hidup di suatu
kota, segera setelah ia tertidur.
Melihat kota lain yang penuh kebaikan dan keburukan,
dan kotanya sendiri melayang dari pikirannya.
Tak pernah ia berkata pada dirinya, “Ini kota baru: aku
seorang asing di sini.”
Sebaliknya, ia membayangkan sering tinggal di kota itu,
dilahirkan dan dibesarkan di situ.
Herankah kita jika jiwa tak ingat lagi akan kampung
halamannya dulu dan tanah kelahirabnnya.
Sejak ia terbungkus dalam tidur sesaat di dunia ini,
seperti bintang diselimuti awan?
Lebih-lebih ketika ia menjejakkan kaki di berbagai kota
dan debu yang menutupi penglihatannya belum
tersapu.
LAGU SERULING
Dengar alunan pilu seruling bambu.
Sayu sendu menusuk kalbu.
Sejak tercerai ia dari batangnya induk yang rimbun.
Dan sesak dipenuhi cinta dan kepiluan.
Walau dekat tempatnya rahasia laguku ini.
Tak seorang tahu serta mendengar.
O kurindu kawan yang mengerti tanda ini.
Dan mencampur rohnya dengan rohku.
Api cintalah yang membakar diriku.
Anggur cintalah yang memberiku cita mengawan.
Inginkah kautahu bagaimana pecinta luka?
Dengar, dengar alunan seruling bambu.
KEBENARAN DI DALAM DIRI KITA
Ada taman indah, penuh pohon yang lebat
Anggur dan rumput menghijau dan di situ
duduklah seorang sufi, memejamkan mata.
Kepala tunduk, tenggelam dalam tafakur
Seseorang bertanya, “Hai, mengapa tak kaulihat
Tanda-tanda Yang Maha Pengasih di sekitarmu
yang diperintahkan oleh-Nya agar direnungi?”
Sufi menjawab, “Tanda-tanda-Nya dalam diriku
telah membentangkan dirinya, yang di luar
hanyalah lambang dari Tanda-tanda.”
Apa makna keindahan di dunia ini? Bagai
pantulan dahan bergoyang di air, ia adalah
bayang-bayang Taman Kekal yang membentang
dalam kalbu Insan Kamil yang tak pernah layu
CINTA WANITA
Jika secara lahir istrimu yang kauatur, secara batin
kaulah yang diatur oleh ia yang kauinginkan,
Inilah ciri manusia: pada jenis binatang lain cinta kurang
terdapat, dan itu menunjukkan rendahnya derajat
mereka.
Nabi berkata bahwa wanita mengungguli orang bijak,
sementara lelaki-lelaki sesat mengunggulinya.
Sebab dalam diri leleki melekat kekejian binatang,
Cinta dan kelembutan adalah sifat manusia, nafsu dan
angkara adalah sifat binatang.
Wanita adalah seberkas sinar Tuhan: ia bukan kekasih
lelaki yang duniawi.
Ia suka mencipta: mungkin kau saja yang berpendapat
bahwa ia bukan ciptaan.
SUFI MENGENALNYA
Karena hanya Kearifan satu-satunya kendaraan Muslim
sejati, ia tahu pasti dari siapa saja ia harus
mendengar tentang Kearifan,
Dan ketika ia mengetahui dirinya berhadapan muka
dengannya, betapa akan timbul keraguan? Betapa
mungkin akan keliru?
Jika kepada orang yang haus kau berkata, “Ini segelas air,
minumlah!”
Akankah orang itu menjawab, “Ah, itu cuma kata-kata:
biarkan aku sendirian, o Pembohong, pergilah
kau!”
Atau katakanlah ada seorang ibu berteriak kepada
bayinya, “Dengar, anakku, aku ini ibumu!”
Adakah si bayi akan berkata, “Tunjukkan dulu buktinya,
supaya aku nikmat menetek susumu.”
Jika hati seseorang telah memiliki penglihatan batin,
wajah dan suara Rasulullah benar-benar mukjizat
baginya.
Jika nabi berseru dari luar hatinya, jiwa orang akan luluh
memuji di dalam batinnya,
Sebab tak pernah di dunia ini telinga jiwa akan
mendengar seruan yang sama seperti seruan nabi.
Seruan yang amat mempesona itu terdengar oleh jiwa
yang terbuang—ia adalah seruan Tuhan, “Lihat,
Aku dekat.”
MUSIK KENANGAN
Nada seruling dan puput yang menawan telinga.
Katakan dari putaran angkasa biru asalnya.
Tapi iman yang mengatas rantai angan dan cita.
Tahu si pembuat suara sumbang dan merdu.
Kami adalah bagian dari Adam, bersamanya kami dengar.
Lagu para malaikat dan serafim.
Kenangan kami, walau tolol dan menyedihkan.
Menambat alunan musik biola surga.
O musik adalah daging semua pencinta.
Musik menggetarlambungkan jiwa ke langit angkasa.
Bara berpijar, api abadi tambah berkobar.
Kami dengar senantiasa dan hidup dalam ria dan damai.
KEMATIAN
Muhammad, pangeran umat manusia, betul-betul
mengatakan bahwa tak seorang pun yang
meninggalkan dunia ini
Merasa sedih dan menyesal karena telah mati; namun
begitu ia sangat menyesal telah kehilangan
kesempatan,
Seraya berkata pada dirinya, “Mengapa tak kujadikan
mati sebagai tujuanku—mati sebagai kedai segala
keberuntungan dan kekayaan,
Dan mengapa tak kukendalikan hidupku yang tertipu
oleh bayang-bayang yang mudah lenyap dalam
sekejap?”
Sedih memikirkan mati tak ada hubungannya
dengan ajal, hal itu disebabkan karena mereka
berada dalam bentuk-bentuk keberadaan yang
menggejala.
Dan tak pernah merasa bahwa semua buih ini beriak dan
hidup karena Sang Lautan.
Jika Lautan telah melempar buih ke pantai, datangilah
kubur dan lihat mereka!
Tanyakan pada mereka, “Di mana arus gelombangmu
sekarang?” Dan dengar jawab bisu mereka,
“Tanyakan pada Lautan, jangan kepada kami.”
Bagaimana buih dapat melayang tanpa ombak?
Bagaimana debu bisa bangkit ke pusarannya tanpa
angin?
Ketika kausaksikan debu melayang, kausaksikan pula
Angin; ketika kausaksikan buih, kausaksikan pula
Lautan Tenaga Penciptaan.
Mari saksikan, penglihatan batinlah satu-satunya yang
paling berguna dalam dirimu: selebihnya adalah
keping-keping gemuk dan daging, tulang serta
otot.
Leburkan seluruh tubuhmu ke dalam Penglihatan Batin:
jadilah penglihatan, jadilah penglihatan!
Seseorang melihat kearifan tak lain sebagai sebuah
kebun atau dua buah jalan; yang lain menyelidiki
hidup yang sesat dan alam kerohaniaan dan
menyaksikan Wajah Raja mereka.
Tentang Jalaluddin Rumi
Nama lengkapnya Maulana Jalaluddin Rumi Muhammad bin Hasin al Khattabi al-Bakri, lahir di Balkh (sekarang Afganistan) pada 6 Rabiul Awwal 604 H, atau 30 September 1207 M. Ayahnya bernama Bahauddin Walad, masih keturunan Abu Bakar ra. Mengembangkan thariqat Maulawiyah atau Jalaliyah. Di barat thariqat ini dikenal dengan nama The Whirling Dervishes(para Darwisy yang berputar-putar). Tarekat ini berpusat di Turki dan berkembang luas di daerah sekitarnya. Rumi meninggal pada 17 Desember 1273 di Konya. Masa kepenyairan Rumi hanya sekitar 27 tahun. Arberry menghitung, bahwa Rumi menulis sajak yang jumlah baitnya tidak kurang dari 34.662 bait. Sajak-sajaknya itu terkumpul dalam Matsnawi (6 jilid). Diwan-diwan atau sajak-sajak pujaannya terkumpul dalam Diwan-diwan Shamsi Tabriz. (hlm. 33)
Catatan Lain
Tidak ada biodata Jalaluddin Rumi di buku ini. Uraian tentang sejarah hidup Rumi dicantumkan sebagai bagian dari prolog: Jalaluddin Rumi: Sufi dan Penyair. (hlm. 7-34). Di bagian belakang buku hanya ada Daftar Pustaka dan biodata Penerjemah, yaitu Prof. Dr. Abdul Hadi Wiji Muthari.
Sumber penerjemahan sajak Rumi, disebutkan dalam prolog halaman 33-34: “Adapun sajak-sajak dalam buku ini, diterjemahkan melalui terjemahan paling akhir dari A.J. Arberry, Mystical Poems of Rumi (The University of Chicago Press: 1968). Buku ini adalah kumpulan diwan-diwan Rumi yang masyhur. Sedangkan sajak-sajak dari Matsnawi diterjemahkan melalui terjemahan Inggris, R.A. Nicholson, dalam bukunya, Rumi: Poet dan Mystic (Mandala Books, London: 1978).”