Tanpa pedulikan kondisi pintu yang sudah rusak dan masih dalam kondisi terkunci, kudobrak sekuat tenaga dengan bantuan amarah yang tak terbendung menenggelaman diri dalam nafsu yang hampir tak terkendali, pintu terbuka dengan terpaksa hingga kunci gembok pun rampung dibuatku, kubantingkan kembaIi pintu, namun tak menutup penuh kamar dengan rapat. Beberapa pigura berhiaskan foto-foto perempuan itu kuraih dengan cepat lalu kubantingkan dari genggaman tangan dan membentur ke penjuru tembok kamar memecahkan sunyi menjadi kegaduhan yang membringas, seisi kamar kaget melihat raut wajahku yang setengah berlapiskan iblis yang murka, apalagi cermin itu telah berhasil kupecahkan dan sisa-sisa pecahannya bersebaran di lantai. Dapat dipastikan hampir seluruh isi kamar berhasil kujamah hingga berantakan, kecuali satu buku yang kadang kuanggap kitab itu yang masih tersimpan rapih tanpa terusik sedikit pun oleh amarahku..
Segera. Kutengok kiri dan kanan tepatnya ke arah pojok lain dari penjuru kamar sambil berharap menemukan beberapa peralatan naik gunung. Tepat, seperangkat peralatan itu masih ada meskipun letaknya berhamburan. Tanpa berpikir panjang seluruh keperluan naik gunung itu kukemasi dan kumasukkan ke dalam tas besar –ransel. selebihnya tidak, hanya beberapa gengam beras dan beberapa bungkus mie yang mampu kumasukkan sebagai perbekalan naik gunung untuk melarikan kekesalan yang lebih tepatnya disebut kemarahan ini dibekali, tapi dalam kondisi apapun rokok tak pernah ketinggalan dalam daftar perjalananku, apalagi naik gunung. Tanpa sedikit pun kekhawatilan tersirat dibenaku, kutinggalkan kamar beserta isinya tanpa kunci mengamankan pintu kamar yang bahkan masih sedikit terbuka, kulangkahkan kaki langkah demi langkah, tentu saja masih dalam balutan amarah dan kegalauan yang menyelimuti hati dan pikiranku iringi perjalanan ini karena memang amarah dan nafsu inilah yang menjadi sumber utama yang mengantarkanku untuk pergi merangkul Gunung Malabar yang menjulang tinggi besar itu
Bagaimana tidak!… hati ini seperti serpihan bangunan yang nyaris menjadi debu yang dulu pernah kucita-citakan kokoh bersama dia, wanita yang slalu kubanggakan sebagai kekasihku. dia berkhianat! bahkan baru saja menjalankan aksi pembunuhan yang sebenarnya telah ia rencanakan jauh-jauh hari.
aku tidak tahu pasti apakah memang hari ini peristiwa peristiwa itu harus terjadi atau terlalu cepat karena diluar rencanannya. beberapa jam kebelakang adalah waktu yang kuanggap sangat tepat untuk berkunjung ke tempat kosnya di daerah Jalan Setia Budi, tapi memang hari ini bukan hari biasa aku berkunjung, karena biasannya hari kamis adalah hari terpadat bagiku dalam menjalani perkuliahan di kampusku yang terletak di jalan Dipati Ukur, tetapi entah mengapa hari ini secara kebetulan semua dosen dikabarkan tidak akan masuk untuk memberikan kuliah, sehingga aku putuskan untuk pergi ketempat kosnya.
sengaja, waktu itu aku tidak mengabarinya terlebih dahulu perihal kunjungannku ke tempat kosnya, baik lewat telepon atau bahkan hanya mengirim sms pun tidak aku lakukan, dengan harapan memberikan kejutan aku berangkat dan membayangkan mendapat kebahagiaan di sana. Adzan ashar lewat di telinga, aku tak peduli, kulanjutkan cita-citaku menemuinnya.
sesampainya di sana, dasar sembrono! pintu kamar kosnya tidak terkunci, ku gelengkan kepala dan menerobos masuk lebih dalam.. lalu…
bangsat!!!! aaahhhkkhhhh!!!!
aku tak mau mengingat kejadian itu lagi, saat-saat di mana kuanggap pembunuhan itu tengah berlangsung. tapi aku tidak bisa membohongi hati dan pikiranku sendiri, bahkan perjalanan ini adalah bukti bahwa peristiwa itu begitu melekat dalam benak, hati dan pikiran sehingga menghancurkan hati ku. Ya! tiap langkah perjalanan menuju pendakian gunung ini seolah-olah lembaran dari rentetan perjalanan kisah ku dengan perempuan itu, dari perjuanganku yang tak mudah untuk mendapatkan hatinya sampai peristiwa tadi sore itu terjadi, langkah-langkah ini menggambarkan dengan rinci sederet peristiwa dalam pikiranku.
meskipun dalam kondisi berjalan, pikiranku menerawang jauh mengenang adegan mesra perempuan setan dengan laki-laki jahanam itu, betapa nikmatnnya! mereka saling bercumbu!… oooohhhhh begitu jelas sekali kulihat lelaki itu melayangkan tangannya menjelajahi beberapa bagian tubuh…
dan …
akhh,, aku dikejutkan oleh seorang petani yang hendak menanam benih di sepetak perkebunan, aku kaget karena perkakas berkebun petani itu tak sengaja tersenggol kakiku saat berjalan, sejenak peristiwa pengkhianatan itu terlupakan, dan tersadar bahwa saat ini aku tengah berjalan dan berada di perkampungan kaki Gunung Malabar, pandangan mata ku tertuju pada kemegahan puncak gunung yang memberikan nuansa alam begitu indah –memberikan sedikit ketenangan pada jiwa, apalagi senja ini tiba diantar mentari yang tenggelam melewati awan merah menyimpan pesan dan membawa kabar untuk esok.
Di depan, jalan terjal sudah menanti, terlihat beberapa rumah berderet di antara tebing dan sungai yang dialiri air dari gunung, tepat di atas tempat tinggal penduduk itu, gerak-gerik dari mesin pengeruk tanah dan beberapa truk pembawa pasir merah masih melakukan aktifitasnya, padahal hari sudah hampir gelap, begitu pun denganku yang tidak berhenti melakukan perjalanan untuk mencapai puncak gunung tinggi itu.
kulanjutkan perjalanan… setelah melewati beberapa tanjakan yang terjal, kini hutan hampir selesai kulewati, sambil beristirahat sejenak kurapihkan ransel yang melekat di punggungku, tiba-tiba kudengar langkah kaki yang kedengarannya seperti orang berjalan agak terburu-buru, sepertinya dari atas tempatku beristirahat, aku terperanjat kaget. rupannya wanita setengah baya yang berjalan terburu-buru itu, di punggungnya terlihat ikatan kain membalut kayu-kayu kering yang jumlahnya cukup banyak, berat ransel yang kubawa sepertinynya tidak ada apa-apannya dibanding kayu-kayu yang ia bawa, di tengah ketersimaan, aku bertanya, sebuah pertannyaan yang mungkin sebetulnnya aku tahu jawabanya. “dari mana Bu?, kenapa Ibu terburu-buru?
benar-benar telah kulupakan peristiwa itu.
“habis memungut kayu kering untuk bahan bakar di dapur, sebentar lagi sepertinya akan turun hujan Den (panggilnya padaku), selain itu sudah gelap, makanya ibu terburu-buru”.
dengan khasnnya wanita setengah baya itu menjawab sangat rengkuh seperti kebanyakan orang-orang desa lainnya. tepat sekali perkiraanku. kecuali jawabannya tentang akan turun hujan benar-benar di luar dugaanku.
“Aden naik gunung sendiri? aduh lebih baik besok saja dilanjutkannya, hari sudah gelap”.
(ibu itu meneruskan)
“Ga masalah kok bu, besok juga saya pasti kembali, saya hanya akan tinggal semalam saja”. mungkin karena hari sudah gelap, perempuan itu tidak begitu ngotot mencegahku.
“ya sudah kalau begitu.. ibu pulang duluan, hati-hati, mudah-mudahan Aden baik-baik saja dan pulang dengan selamat” Ibu itu pun berlalu setelah pamit dan mendoakanku.
benar apa yang dikatakan ibu itu, tak lama kemudian setelah beberapa saat, angin yang tadinya behembus dengan kencang bergemuruh menerpa dedaunan perlahan mulai hilang digantikan kesunyian. mula-mula kabut tipis turun. lalu, tak lama setelah itu kabut pekat pun menyusul menutupi jarak pandang merangkul seisi hutan dengan gejalannya yang khas yaitu butiran air lembut yang menempel di dedaunan. kunyalakan sebatang rokok berharap menemani kesendirianku di tengah kesunyian hutan ini, memang baiknya segera aku melanjutkan perjalanan ini, tetapi rokok ditanganku masih cukup untuk menghabiskan waktu beberapa saat lagi, karena memang baru beberapa tarikan saja ku isap rokok ini. beberapa saat kemudian, terdengar gemuruh tapi bukan suara yang dihasilkan angin yang menerpa dedaunan,.
Gila!!! ternyata hujan turun dengan deras, kokok di tangan ku masih tersisa, mekipun tinggal satu tarikan terakhir, kuhisap dalam-dalam lalu kumatikan dan kemudian bergegas meneruskan perjalanan hujan dengan derasnya menghadang seolah-olah menghalang-halangi perjalananku. tidak hanya itu, kali ini hujan bersekongkol dengan gemuruh halilintar, tapi hujan dan halilintar tak berhasil menakut-nakutiku.
kilat halilintar memeranjatkanku kembali, kali ini lebih besar dan lebih kencang dari sebelumnya! cahayannya lebih menyilaukan! gemuruhnya lebih menggelegar! aku tak bergeming! langkah kaki ini tetap kupaksakan, mekipun lelah sedikit-demi sedikit mengerogoti tubuhku. tapi hujan dan halilintar rupannya sama-sama lelah. perlahan mereka menghilang, digantikan hembusan angin yang menusuk tulang sum-sum, jalan menjadi sangat licin sekali, tak jarang aku terjatuh lemas tak berdaya. puncak gunung ini masih enggan menampakkan akhir dari jalan yang terjal, aku hampir menyerah dan sepertinnya benar-benar menyerah. aku terjatuh, ransel dipunggungku menambah berat tubuhku yang terjatuh.
sekujur badanku basah kuyup tetapi semangatku kembali terpacu, gerak demi gerak kulakukan, aku bangun untuk mendirikan kembali tubuh dan berjalan, satu langkah kaki berhasil kugerakan, aku sangat ingin menyelesaikan perjalanan menuju puncak gunung ini, tapi rasannya ini adalah tiga langkah terakhir, ya… hanya tinggal beberapa tarikan nafas lagi, akhhhh… (aku terjatuh kembali) ditengah-tengah perjuangan perjalananku yang hampir tak terselesaikan terhadang lelah, aku melihat bunga edelwise, bunga abadi itu sedikit demi sedikit menampakan kuncup putihnnya yang indah, aku tarik nafasku kembali, kulangkahkan kakiku dengan harapan menggapai bunga dan puncak gunung ini, tapi… sepertinya aku tidak akan mampu, otot-ototku mengeliat kelelahan… aakkhhh.. ini usaha terakhirku mengeluarkan tenaga sekuat-kuatnnya, dan… aku terjatuh dan teringat peristiwa itu kembali, namun aneh, entah kenapa, kali ini justru yang ku ingat bukan peistiwa pengkhianatan itu, justru persistiwa satu bulan kebelakang, saat detik-detik aku mendapatkan jawaban dan kepastian dia menjadi kekasihku..
detik-detik di mana, aku duduk di antara meja dengan dua kursi yang saling berhadapan. dengan sangat hati-hati kuutarakan perasaan saat ini yang selalu aku simpan baik-baik dalam hati.. dengan harapan mendapat jawaban yang sesuai dengan harpan aku utarakan bahwa;
“aku suka dan sayang kamu, aku cinta kamu, maukah kau jadi kekasihku?”
rasanya seperti gunung berapi menghempaskan larpa, bebanku tumpah, hatiku tenang sejenak lalu aku dihadapkan pada kondisi hening, sepertinya dia mau menjawab, dengan gelisah bercampur rasa penasaran aku menunggu,
.. bibirnya membuka perlahan dan…
akhhhh,,, aku kembali tersadar bahwa saat ini tengah berada di puncak gunung dan sedang terjatuh, aku kembali tersadar diam dan sedang apa aku sekarang, segera aku bangkit dari jatuh dan menyelesaikan langkah terakhirku, akhirnya puncak gunung ini telah kugapai, kurebahkan badanku dengan memandang langit, rupanya hembusan angin telah menyingkirkan kabut dan awan yang meyelimuti langit malam ini, bulan setengah penuh menemaniku kini, begitu pun bintang-bintang. saat ini aku duduk dan merenung, kembali aku teringat saat-saat di mana aku sedang berhadapan dengannya aku ingat saat-saat itu ia membuka bibirnya sedikit demi sedikit seraya menganggukan kepala, ia mengatakan satu kata yang teramat penting dan bermakna bahwa dia dia resmi menjadi kekasihku “ya” jawabnnya singkat, dengan iringan senyum di wajahnya.
saat itu, aku sangat senang dan bahagia, seperti menyelesaikan perjalanan pendakian gunung ini rasanya. sekilas memang sederhana dan tidak begitu menarik, tetapi jawaban itu adalah jawaban dari pertannyaanku yang ketigakalinnya, setelah sebelumnya dua kali dia hanya bungkam yang berarti ragu menerimaku. aku tersenyum sendiri mengingatnya. saat itu pula bangunan yang kumaksud mulai tercipta untuk dicita-citakan kokoh bersamanya, kini aku hanya berharap peristiwa pengkhianatannya adalah suatu penangguhan akan sebuah kebenaran yang tertunda.
yaa…?
mana bunga (edelwaise) abadi tadi, bunga yang membuatku bangkit dari jatuh, bunga yang membuatku semangat kembali untuk menarik nafas dan melangkahkan kembali kaki untuk menyelesaikan pendakian ini? ternyata bunga itu bersembunyi di belakang tubuhku, kubakikan badan dan mendekatinnya, meyentuhnya lalu mencumbunya, terasa dingin di bibir, hujan yang membasahinya telah menyisakan air yang kini melekat di bibirku. hendak kuraih untuk dipetik, tapi kuurungkan niatku, kulepaskan gengaman tanganku, mataku melihat kebidang sejajar yang lain, ohhh Tuhan!!! lampu-lampu di kota besar terlihat jelas, teramat sangat indah. kembali kurebahkan badan ini menegadah menghadap rembulan kurenungkan bahwa: badai pernah kutembus, kegelapan malam berkali-kali kulalui, semua itu terjadi ditengah-tengah lebatnya rimba alam ini dan tak pernah membuatku mengurungkan niat untuk menggapai puncak gunung. bahkan di bawah sana! pistol pernah ditodongkan tepat kearah jidatku, golok dan cerulit diletakan di antara dagu dan dadaku, semua itu tidak pernah merubah pendirianku untuk menggapai jawaban atas segala kegelisahan.
aku kembali terjaga, teringat kembali penyebab, kenapa saat ini aku berada di sini, di lain waktu: badai, kegelapan malam, pistol, golok dan cerulit bukanlah sesuatu hal yang berarti, tapi orang-orang seperti aku ini selalu menempatkan perempuan dan sebatang rokok lebih berpengaruh dari semua penjajahan di dunia. Ibu yang hampir tua yang berpapasan di hutan tadi, pergi menelusuri hutan hanya untuk mendapatkan seikat kayu kering untuk menyalakan perapian di dapur agar seisi rumah dapat menikmati makanan yang dimasaknya, sementara aku pergi ke puncak gunung nan sunyi ini dengan pelbagai kebanggaan yang kebanyakan justru melahirkan keponggahan, luasnnya hutan, tingginya gunung hanya menjadi bekal cerita bahwa “aku pernah menginjakan kaki di gunung itu!”
ibu pemungut kayu kering itu menelusuri hutan dan menapaki gunung dengan tujuan menyambung hidup diri dan keluarga, sementara aku hanya untuk melarikan diri, lari dari masalah, bahkan hanya karena dikhianati perempuan. mencari jawaban atas kegelisahan macam apa yang kucari ini? Di puncak gunung ini aku tidak menemukan bidadari yang turun dari langit yang menggantikan perempuan pengkhianat yang hampir kulupakan itu. saat ini, malam ini, di puncak gunung ini aku hanya melihat betapa kecilnya manusia di dunia ini, kota-kota besar tempat kesibukan manusia dengan segala kemewahan dan gemerlap keindahan dunia di bawah sana terlihat tak lebih hanyalah sekumpulan dari kedipan cahaya-cahaya kecil yang mungkin, seandainnya Tuhan berkehendak teramat mudah sekali menghancurkannya.
perlahan rembulan merayap kearah barat, bintang-bintang mengikuti. malam ini telah kulalui, hari berganti, rembulan digantikan mentari membawa pesan untuk segera turun gunung. bintang-bintang menghilang, langit biru menjelang. kusiapkan diri untuk pulang membawa jawaban dari pencarian.
langkah demi langkah kuayunkan menuruni punggungan dan lembahan gunung yang curam, perjalanan pulang terasa lebih cepat dari pendakian. tak terasa perjalanan pulang hampir kutuntaskan, hutan sudah kulewati. kini aku berada diperkampungan kaki gunung malabar, “ya tuhan” (dalam hati ku bertanya). kenapa banyak pohon-pohon yang tumbang, kuteruskan berjalan, lebih bergegas, kudekati perkampungan yang berderet ditepi jurang dekat sungai itu.
Ya Tuhan!!
apa yang telah terjadi? apa yang menimpa perkampungan ini? rumah yang berjajar itu raib tertimbun gundukan tanah merah bercampur pohon-pohon besar tak berdaun, tak terkecuali mesin pengeruk beserta beberapa truk dilahap tanah longsor itu, beberapa orang sedang sibuk menggali tanah yang menimbuni rumah. kulihat raut muka mereka gelisah bercampur sedih. rupanya longor telah menelan rumah-rumah penduduk. galian pasir dan penebangan pohon menjadi penyebab utama terjadinya longsor setelah tadi malam hujan lebat itu mengguyur gunung dan perkampungan. kutanggalkan ransel dari punggungku, kuraih cangkul yang tergeletak di tanah untuk kugunakan sebagai penggali timbunan tanah itu. salah seorang dari penduduk berkata:
“beberapa korban telah terangkat, tinggal seorang ibu beranak dua yang masih tertimbun!!”
tiba-tiba, aku teringat ibu pemungut kayu bakar yang bertemu denganku di hutan kemarin, kupalingkan pandanganku kepenjuru lain tumpukan tanah. terlihat dua orang anak kecil berdiri dengan kepala tertunduk sambil menangis, didepan mereka terbaring seorang jenazah perempuan yang baru saja ditemukan oleh salah seorang penduduk lain yang juga melakukan pencarian. perempuan itu adalah ibu dari kedua bocah yang menangisi jenazah tersebut, kedua bocah itu tidak menjadi korban, karena sewaktu longsor itu terjadi mereka masih berada di madrasah untuk mengikuti sekolah agama yang biasa dilakukan sehabis solat subuh. mungkinkah yang mereka tangisi itu jenazah ibu pencari kayu bakar yang bertemu denganku di hutan?
hatiku kembali terkoyak, aku tidak mampu berbuat apa-apa, jawaban macam apa yang telah kudapat dari pendakian gunung ini yang mampu mengatasi persoalan-persoalan yang nyata-nyata terjadi di sini. kematian memang sebuah keniscayaan, tapi dengan cara bagaimana dan melalui apa kematian itu datang selalu menjadi perhanyaan. terutama yang menimpa warga kampung yang terkena longor ini. adilkah membiarkan orang-orang desa selalu menjadi korban keserakahan pada pemegang hak penggali pasir yang tepat dilakukan di atas rumah mereka?? bencana memang telah terjadi, tapi aku hidup di dunia nyata yang selalu mencari sebab akibat, kenapa bencana ini terjadi?
aku benar-benar tidak mampu mengingat kembali perselingkungan kekasihku dengan laki-laki yang berhasil menidurinya kemarin, yang kurenungkan saat ini bahwa ternyata hidup ini gunung yang didaki, kutelusuri terjalnya melalui langkah-langkah menapaki punggungan menerawang dimensi ruang dan waktu, aku menemukan sedikit arti dari sebuah penemuan disaat aku duduk terdiam di puncak dan begitu selanjutnya. kuturuni kembali punggungan untuk menghadapi kemunafikan dan penkhianatan di lembah sana, ternyata bukan!! yang kuhadapi adalah realiatas kehidupan bahwa banyak manusia yang membutuhkan perjuangan melawan tirani ketidakadilan.
Karangan : Pepep DW
Semoga dari cerita ini kita dapat mengambil hikmah dan pelajaran.