Cinta sejak awal memberi tanda dan —sama-sama sadar. Sama-sama sadar ketika sejak awal cinta timbul dan kobarannya makin besar. Besarnya kobaran itu mulai membakar ketakutan—sama-sama sadar. Sama-sama sadar dan akhirnya merenggut kebersamaan.
Suatu ketika di sebuah ruang tunggu untuk Rindu.
Pagi ini, ruangan itu bernuansa berbeda, cat yang ada kini mulai mengelupas dan kusam. Dinding-dindingnya menggeliat penuh resah. Rindu nampak duduk dengan menunduk di sudut ruangan itu, jemarinya saling terpagut, mukanya pucat pasi, sesekali melirik ke arah jam dinding yang hanya berdetak berirama seperti detak jantungnya. Tak ada suara lain selain tik..tok..tik..tok dan desau angin yang merambat lirih masuk dari celah-celah langit-langit yang menganga.
“ Dingin banget !! “ katanya lirih sambil membenarkan sweater kuningnya. Tiba-tiba pintu yang ada dihadapannya terbuka..deritnya yang panjang membuat Rindu menoleh dengan cepat ke arah pintu itu. Seorang gadis sebaya dengannya tampak menyempil dan pandangannya menyapu seluruh ruang tunggu itu. Matanya berhenti ketika yang dilihatnya masih duduk manis di pojokan. Senyumnya terkembang “ Masuklah Rindu..kau pasti senang dengan hasilnya “. Dengan langkah lemah Rindu menuruti kata-kata gadis itu.
“ Sayang…datang juga, eh Bram apa yang kamu bawa itu ? “
“ Aku gak bawa apa-apa sayang…aku hanya bawa sebongkah cinta “ bibirnya mengecup kening Rindu. Dan senyum tersimpul di bibirnya yang tipis.
“ Duduklah..aku kangen banget sama kamu..” pinta Rindu dengan manja.
“ Eh..iya??sudah lama gak ketemu ya? Maaf lo…pasti kamu BT gak aku temenin kemana-mana. Sekarang kamu kurusan deh..kenapa??kamu sakit ? ”
“ Sudahlah..peluk aku sampai pagi sayang..aku kangen sama kamu..hari ini cukup melelahkan ”
“ Hmmm..baiklah..berikan tubuhmu ”
Seberapa jauh aku bisa bersembunyi tanpa mengingatmu? Sepertinya, aku tak mampu melakukannya.
Pagi ini udara masih terasa dingin, perubahan cuaca yang berganti secara tiba-tiba memaksa Rindu untuk berlama-lama meringkuk dalam selimutnya yang tebal. Alarm yang sejak 15 menit tadi berdering tak dimatikannya. Handphone yang terletak disamping ranjangnya bergetar hebat namun tak tersentuh olehnya, seakan tubuh itu telah ditinggalkan oleh jiwanya yang entah sedang ada dimana. Suara pintu terbuka didengar oleh Rindu, namun tubuh itu seakan tak berdaya, suara-suara yang sedang berbincang terdengar lamat-lamat lalu giliran pintu kamarnya terbuka.
“ Selamat pagi sayang.. “ sapa Bram seraya mengecup kening Rindu. Tubuh Rindu menggeliat manja dari balik selimut. Tangannya meraih tangan Bram dan menariknya ke bawah selimut.
“ Rindu..aku sudah siap berangkat ke kantor. Apa yang kamu lakukan ? “ tangan kekar Bram menampik tangan Rindu dan tubuh Rindu terhempas keras jatuh. Bram hanya melirik tubuh Rindu dengan miris dan berlalu begitu saja. Rindu yang terpaku menunduk lemas menatap lantai-lantai kamarnya dengan nanar. Telinganya menangkap suara wanita lain..dia, Monica.
Kini Rindu duduk menatap langit dari balkon kamarnya, masih mengenakan piyama semalam, sesekali bibirnya mencecap kopi pahit dari cangkir kesayangannya. Cangkir itu, tercetak potretnya dengan Bram..kekasih hatinya sejak tiga tahun lalu selepas masa-masa sekolah. Bel pintu depan berbunyi, dan suaranya cukup mengusik lamunan Rindu tentang kejadian tadi pagi. Perubahan Bram dan kehadiran Monica, menari-nari dalam pikirannya. Tubuhnya beranjak dari kursi dan mempercepat langkahnya menuruni anak tangga untuk membuka pintu.
“ Eh…kau rupanya? Masuklah Bim.. “
“ Uum…sebaiknya aku diluar saja, bukankah dirumahmu ini hanya kau dan pembantumu saja yang ada ? “
“ Kenapa Bima?? Bukankah tamu memang harus masuk ke dalam rumah kalau bertamu ? “
“ Iya..setidaknya jika pemilik rumah memakai pakaian yang lengkap. “ kata Bima mantap sembari lalu menuju teras.
Rindu tersenyum simpul dan berlalu menuju kamarnya setelah memberi tahu mbok Inah untuk membuatkan minum. Bima..seorang laki-laki yang jauh berbeda dengan Bram..Bima selalu ada ketika Rindu butuh bahkan ketika orang-orang terdekat Rindu jauh darinya.
“ Sory Bim..lama tadi sekalian mandi. “
“ Iya gak papa..sory pagi-pagi gini aku sudah bertamu ke rumah gadis cantik seperti kamu ada hal yang ingin aku sampaikan. “
“ Oh ya..muka kamu kenapa berubah serius gitu ? “
“ Aku denger dari Mala..waktu dia nganter kamu ke dokter “
Rindu tersentak cangkir yang digenggamannya terjatuh. Rindu masuk dan menyuruh mbok Inah membereskan serakan cangkir. Sedang Bima masih terdiam pikiran-pikirannya terus melayang-layang.
“ Maaf Bima..apa yang kamu mau setelah mendengar itu ? “
“ Seharusnya pertanyaan itu bisa kamu jawab sendiri. Kamu tahu maksudku datang kemari..kamu mengerti semua sikap dan apa yang aku lakukan untukmu “
Rindu terhenyak, matanya membaca dalam-dalam mata Bima. Nyaris tak ada keraguan dalam tatapan Bima untuk Rindu, dan Rindu tahu itu sejak lama. Perasaanya makin terpojok ketika dengan rutin dan bahkan sengaja Monica mengiriminya foto-foto mesranya dengan Bram dikantor. Bram dan Monica memang sekantor dan intensitas bertemunya Monica dan Bram makin sering membuat jarak Rindu dengan Bram renggang. Sedetik kemudian handphone Rindu berdering..sebuah MMS masuk dan perasaan getar berdesir hebat ketika matanya melihat layar handphonenya. Sebuah pemandangan yang tak ingin dilihat oleh perempuan manapun didunia ketika kekasih hatinya bermanja dengan perempuan lain di tempat lain. Air mata Rindu menggenang di sudut matanya. Tangan Bima meraih handphone Rindu dengan cepat. Air mukanya berubah ketika melihat di layar Bram dengan perempuan lain.
“ Ini yang kamu sebut cinta ? “
“ Kamu gak berhak bertanya seperti itu Bima..” air mata Rindu makin mengalir deras.
“ Aku tahu..tapi, kamu tidak memberiku kepastian Rindu..kamu tahu perasaanku. Maafkan aku, akupun tersiksa ketika melihatmu menangis seperti ini. Cinta tidak mengajarkan kesedihan dan membiarkan air mata jatuh sia-sia seperti ini. Hentikan air mata itu, hiduplah denganku. “.
“ Gak segampang itu Bima..kamu pastinya sudah tahu dari Mala bukan ? aku makin tak layak mendapatkan kamu. “
Tiba-tiba sebuah mobil melaju kencang memasuki parkiran rumah Rindu. Dari dalam mobil keluar Bram dengan muka merah padam menahan marah. Tanpa basa-basi tangan kekar Bram menampar Rindu dengan keras. Lalu melayangkan pukulan ke arah ulu bima. Dengan nafas tersengal-sengal Bram kembali melayangkan tinju ke arah wajah Bima namun kali ini gagal dan mengenai wajah Rindu.
Tubuh Rindu terjatuh ke tanah dengan keras. Darah mengalir dari kening Rindu dan sudut bibirnya, mata Bram tersentak saat tinju yang diberikannya mengenai Rindu. Lalu Bima mengangkat Rindu masuk ke ruang tamu, memanggil mbok Inah untuk membersihkan luka Rindu. Sedang Bram terduduk lemas di teras. Bima masih menahan sakit di bagian dadanya. Tangannya menyodorkan handphone Rindu yang dilayar masih terpampang foto Bram dengan Monica. Wajah Bram berubah..air matanya mengalir. Tubuhnya beranjak menuju Rindu yang masih berbaring lemas, keduanya berpelukan sambil menangis. Bram tahu bahwa dirinyalah yang bersalah dengan Monica. Apa yang diceritakan Monica tentang Rindu sama sekali salah dan Bram menyesal.
“ Kita harus pisah Rindu..maafkan aku “ kata Bram singkat dan berlalu mengusap air matanya. Air mata Rindu mengalir hebat, deru suara mobil Bram yang meninggalkan rumah itu sudah tak terdengar lagi. Rindu menangis sejadinya.“ Bukan perpisahan ini yang aku mau..Bima, “ katanya lirih.
“ Kamu pantas bahagia denganku Rindu “ tapi Rindu menggeleng pelukan Bima dilepaskannya perlahan, dikecupnya kening Bima dan tubuhnya beranjak mengambil kunci mobil dari meja. Bima membelalakkan matanya, mukanya mendadak pucat pasi. “ Aku yang melukaimu atas nama cinta Bima dan kini aku pun terluka atas nama cinta. Bima maafpun tak cukup untukku, tapi ada yang tak bisa lepas dari Bram ( Rindu mengusap perutnya pelan ) “. Bima mengangguk kecil dan memberikan pelukan terakhir pada Rindu.
“ Aku yang membuatmu terluka dengan mencintaimu juga, tapi kenapa justru perih yang berbalik tajam melukakan hati ku Bima ? “ Rindupun berlari menuju mobil yang ada di garasi. Meninggalkan Bima terpaku mengenang kata-kata Rindu. “ Aku mencintaimu Bima “ kata itu kembali terngiang di pikiran Bima.
Aku mengais pilu dalam birunya rindu yang menusuk tanpa henti! Haruskah aku sudahi dengan pergi mengingkarimu ? jika itu jalannya, aku ingin kamu berbahagia _Sha, 22-5
Karangan : Marsha Krestanto
Semoga dari cerita ini kita dapat mengambil hikmah dan pelajaran.