Decit suara kereta terdengar memekik di gendang telingaku. Beberapa orang terlihat turun dari mulut pintu gerbong di depanku dan beberapa lagi naik dari pintu gerbong lainnya. Aku menarik koper sesaat setelah berpamitan pada Ayah, Ibu, juga kakaku. Mereka melambaiakan tangan mengiringi langkahku saat menapaki satu persatu anak tangga kereta ini. Sungguh, ini saat-saat yang sulit. Berpisah dengan keluarga untuk beberapa lamanya. Bisa setahun, dua tahun, tiga tahun. Bahkan bertahun-tahun. Berat hati ini berpisah dari keluargaku bukan karena aku tergolong anak manja yang suka merengek atau tidak bisa hidup jauh dari mereka. Tetapi ini akan menjadi pengalaman pertamaku yang awesome, mungkin. Kalau diriku hanya pergi lalu tinggal di kota sebelah yang masih satu wilayah dalam provinsi, itu masih tergolong wajar, sebulan sekali aku bisa pulang. Atau aku tinggal di pulau lain di Indonesia ini, itu masih tidak perlu di khawatirkan, kapan aku mau aku juga bisa pulang. Tapi ini berbeda, aku akan hijrah ke negeri orang untuk melanjutkan pendidikan. London. Alhamdulillah, beasiswa S1 Hubungan Internasionalku di terima. Dan aku akan belajar di negeri Harry Potter itu sampai selesai Strata pertamaku di sana. Di depan tangga aku membalikkan badan dan menatap dalam wajah orang-orang yang selama ini menemaiku. Ku lemparkan senyum semangat pada mereka. Meski hatiku ketar-ketir dan tidak menentu. Mereka tersenyum.
The Train
Ku masukkan koper menjorok agak kedalam di bagasi atas kereta. Lalu memilih duduk di kursi mengharap searah dengan laju kereta. Tiga bangku masih kosong. Syukurlah. Semoga sampai Jakarta akan begini. Aku bisa lebih nyaman. Aku orang yang cenderung lebih suka sendiri, atau suasana tenang, karena dengan tenang suasana hatiku juga akan demikian. Bisa kebayang ‘kan? Kalau seandainya dua kursi di depanku dan satu kursi lagi di sebelah kiriku di tempati ibu-ibu atau tante-tante cerewet yang suka ngerumpi. Sumpah, mungkin aku akan menderita sepanjang perjalanan kelak. Aku tidak suka wanita cerewet.
Ku lirik keluargaku yang masih duduk setia menatapku dari kursi tunggu itu. kakakku melebarkan senyumnya tatkala mata kami berpautan. Dia memang cantik, baik, dermawan, andai aku bisa memiliki hati seperti dia. Selang sedetik seorang lelaki muda memakai pakaian kasual tampak menempati kursi di depanku. Untuk sesaat mata kami berpandangan sejenak. Ia tersenyum padaku seiring memasukkan ranselnya ke atas bagasi persis di sebelah koperku.
“Boleh duduk di sini, ‘kan?” lirihnya tersenyum. Perlahan aku mengangguk. Punya hak apa aku melarang? Pikirku dalam hati. Lelaki muda itu pun duduk di kursi di hadapanku.
“Mau kemana?” lanjutnya lagi.
“Jakarta!”
“Sendirian?” lagi-lagi ia tersenyum.
“Menurutmu?”
Lelaki itu terkekeh. Bunyi pluit panjang pertanda kereta segera berangkat. Dengan mata agak berkaca-kaca ku tatap wajah-wajah familiar di sana. Aku melambaikan tangan seiring laju kereta perlahan meninggalkan stasiun Bandung ini.
“Mereka keluargamu?” tanya lelaki yang sepertinya masih berusia dua puluh tahunan itu saat aku melambaikan tangan pada ayah, ibu dan kak Maya. Aku mengangguk. Goyangan demi goyangan terjadi saat decitan kereta terdengar menderu. Kereta melaju seiring meninggalkan stasiun ini. Pemandangan di sepanjang rel mulai terlihat. Atap-atap rumah penduduk, pohon, jalan raya di seberang sana, hingga pertokoan. Kereta semakin melaju. Sejak kali pertama aku dan pemuda itu bertatapan mata, aku merasa ada sentuhan lembut di hati ini. Sejuk. Dan menentramkan. Wajahnya bersih rupawan. Bibirnya tipis menawan. Rambutnya spike dan terlihat cool. Mata kami sejenak kembali bertautan. Cesss. Lagi-lagi aku merasa debar jantung ini semakin menjadi-jadi. Aku tidak tahu arti tatapan matanya itu. Kembali dia tersenyum dengan tatapan matanya yang teduh.
“Mau?” lirihnya menyodoriku sekaleng minuman berkarbonasi. Awalnya aku ragu, pemuda itu mengangguk meyakinkan kalau itu adalah ucapan salam perkenalan. Aku belum yakin. Takut ada udang dibalik batu.
“Apa mukaku mirip dengan penculik?” Aku pun menerimanya di sertai senyuman. Menghilangkan rikuh ku tatap view dari balik jendela. Rumah-rumah yang tadi kulihat kini telah berubah menjadi hamparan padang rumput yang luas. Ceples. Suara penutup kaleng itu terdengar jelas saat aku membukanya. Dan kacauanya aku, saat seperempat bagian dari isinya tumpah di atas karpet. Aku panik. Pemuda itu memberiku sapu tangannya yang berwarna biru tua.
“Pake ini aja…” lirihnya menatapku dalam. Sumpah, aku salah tingkah jadinya. “So-sory, celanamu jadi agak basah…” kataku melihat bagian lutut jeansnya ikut tersiram. “It’s Okay. Never mind.”
Aku mengelap bagian bawah kemeja yang ku pakai. Pemuda itu tersenyum melihatku yang sepertinya kewalahan. Mata kami lagi-lagi bertautan.
Beberapa saat kemudian seorang pramusaji datang dan meletakkan beberapa box berisi menu makan siang di meja kami. “Terima kasih…” ucap pemuda di depanku tersenyum pada pramusaji itu yang kemudian berlalu menuju gerbong selanjutnya. Butuh beberapa saat kami pun terlibat dalam obrolan ringan dan akhirnya saling mengenal satu sama lain. Tidak ku sangka pemuda yang aku kira pendiam itu ternyata tergolong humoris. Namanya, Rashka. Usianya baru 23 tahun. Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Paramadina semester 6 tahun ini. “Kamu anaknya, lucu yah…” lirihnya dengan nada menggoda. Dahiku mengkerut.
“Apanya yang lucu?” tanyaku seraya mengunyah. Mata kami bertautan kesekian kalinya, cukup lama. Rashka melihatku dengan tatapan yang hanya membuatku semakin GR. Dia ini… Tuhan, jangan kau uji aku dengan dia, aku tidak akan sanggup. Tahu begini aku lebih baik duduk bersama tante-tante atau ibu-ibu arisan.
“Kamu mau kuliah, tapi badanmu masih kayak anak SMP!” lirihnya terkekeh. Sontak darahku rasanya mendidih, kepalaku mau meledak. Kurang ajar, baru kenal sudah menghina. Dasar pedofil. Aku menatapnya dengan wajah seperti udang di rebus. Marah.
“Memangnya kenapa? Kalau badanku masih kecil? Hah.”
“Eith, sabar. Bukan bermaksud menyinggungmu.” Lirih Rashka sok bijak. “Tapi, kalau di lihat-lihat, kau memang lebih manis saat cemberut seperti sekarang ini. Aku suka jadinya…” ia mencolek daguku.
“Apaaaaa?!” teriakku mengejutkan beberapa penumpang lain. Tatapan orang heran langsung menghujat kami. Aku dan Rashka berlagak cuek. Ku habiskan sisa makan siangku. Menatapnya kesal.
“Kamu membuat orang jadi ngeliatin kita…” seloroh Rashka padaku.
“Salah siapa?” aku bertanya.
“Memangnya salah ya, kalau aku suka sama kamu?”
“Ka-kamu.” Aku berdiri lalu mengambil koperku setelah itu beranjak dari kursiku mencari tempat lain.
“Kau mau kemana?” tanya Rashka kecewa.
“Menjauhimu, Tuan pedofil!” Tidak peduli dengan tatapan orang, aku berjalan mencari kursi kosong meski aku tahu kecil kemungkinan masih akan ada yang kosong. Aku berputar-putar membawa koper itu seiring mataku mencari tempat. Bahkan beberapa kursi di belakang sana tampak penuh semua. Sial. Dengan wajah kesal, aku kembali ke kursiku semula dan Rashka menyambutku dengan sejuta tawa. Keparat. Sial. Umpatku tak henti-hentinya.
“Sepertinya kita memang berjodoh.” Kelakarnya membuatku gatal seperti ada ratusan ulat bulu menempel di tubuhku ini. Aku diam tidak menggubris. Ku letakkan kembali koper ke tempat semula lalu menjatuhkan bokongku di atas kursi. Beberapa orang melihatku tertawa, termasuk Rashka sialan itu. Mataku ku lempar menatap jendela. Hujan turun membasahi dinding kaca dan membuat suasana dingin menyeruak basah. Ku sematkan sweater berwarna abu-abu di tubuh ini. Hangat seketika terasa menjalar dan memelukku. Rashka menatapku dengan mengangkat alis kanannya. Menyebalkan.
“Mau lebih hangat, sini duduk di sebelahku…” lirihnya menepuk kursi di sebelah kanannya. Aku diam.
“Atau aku yang duduk di sebelahmu.” Tukasnya hendak beranjak. Aku masih diam. Rashka pun bangkit dan mengambil posisi seperti yang ia mau. Aku tidak peduli lagi. Sepertinya dia akan terus menggangguku jika aku banyak komentar dan melawan.
***
Entah sekedar mimpi atau ilusi, aku merasa ada sebuah kecupan basah mendarat di bibirku ini, cukup lama. Sontak aku terbangun dan melihat Rashka yang ternyata terlelap dalam tidurnya di sebelahku. Ahh, aku kembali berbaring. Tanpa sengaja aku melihat bayang-bayang wajah Rashka yang tersenyum dan tampak jelas dari jendela kaca kereta ini. Anjrrit. Jadi benar, dia menciumku. Sontak aku berbalik dan sempat aku melihat dia pura-pura terlelap.
“Bangun!” lirihku mencubit pipinya. Dia tidak bergeming.
“Bangun… atau aku akan menyirammu…” kelakarku kesal. Rashka malah membalikkan badannya. Menguap. Berkali-kali aku tidak juga berhasil membuatnya menyerah. Aku memutuskan pindah kursi bekas tempat dimana Raskha duduk. Kereta semakin kencang. Hujan di luar masih menderu. Warna gelap langit terasa menggelapkan hati ini. Sesaat aku masih teringat dengan keluargaku, kenapa perasaanku jadi nggak enak. Kepirikan terus sama ibu.
Di Stasiun Bekasi, Rashka banyak berceloteh ria tentang dirinya meski aku tidak meminta. Katanya, aku mirip sekali dengan mantannya dulu. Mendengar penuturan itu aku jadi shock. Bisa-bisanya dia. Dan dan pacarnya sempat pacaran dua tahun. Lalu putus karena hubungan itu tidak mendapat tempat. Rashka yang kecewa akhirnya memutuskan hijrah ke Jakarta, dia ingin melupakan masa lalu dengan melanjutkan kuliahnya. Tapi, semenjak dia bertemu denganku, kembali dia teringat masa lalunya. Aku jadi kurang enak dengan semua ucapannya itu. Gerogi.
“Terus, pacarmu sekarang, di mana?” tanyaku yang entah kenapa mau menanggapi ceritanya. “Dia sudah meninggal. Setahun yang lalu…”
“Ohh..” lirihku bersungut-sungut “ka-kalau boleh tahu meninggalnya karena apa?”
“Nanti kau juga akan tahu..” lirihnya melempar pandangan keluar.
“Ma-maksudmu?” tanyaku kurang mengerti.
“Aku tidak bisa cerita, nanti kamu takut lagi.”
“Ahh, kenapa aku harus takut. Aku bukan pengecut.” Rashka mendesah lalu menatap mataku dalam. Iapun berbicara lirih.
“Dia meninggal karena kecelakaan saat menaiki kereta ini. Kereta yang sama. Jam yang sama. Suasana yang sama. Dan…”
“Apa?!” tanyaku menyentak.
“Katanya nggak takut…” ledeknya mengedipkan mata padaku. Ich, menyebalkan sekali orang ini. Dia pikir aku ini abnormal apa?
“I Love You. Forever. On this place. The Train.” Lirihnya lalu disusul mencium keningku. Sontak aku naik pitam dan kesal. Rashka berani-beraninya mencium keningku di depan umum. Di-dia pikir aku siapa? Hah! Mereka yang melihatku di cium pedofil itu hanya geleng-geleng kepala. Wajahku memerah karena malu. Aku mengumpatnya dengan sumpah serapah. Tiba-tiba…
Braaaaakkkk! Sontak tubuhku membentur Rashka saat kereta ini berguncang yang sepertinya menabrak sesuatu. Aku dan semua penumpang termasuk Rashka tersungkur. Suara ribut seketika riuh bak lebah keluar dari sarangnya. Banyak orang terjepit kursi dan tertimpa tas dan koper. Kaca-kaca jendela pecah. Kereta terus melaju dan menabrak benda keras di sepanjang rel beberapa menit lamanya. Darah mengalir dimana-mana. Air hujan masuk kedalam kereta dan mengguyur tubuhku ketika kaca jendela di sebelahku pecah dan sempat melukaiku. Rashka pun memelukku erat, dia menyempatkan memasukkan sebuah kertas kedalam kantong kemejaku. Aku terduduk di sebelah kursi dalam pelukannya itu. Lambat laun kepalaku rasanya pusing. Darah berbau amis mengucur dari keningku. Semua wajah terlihat panik. Aku juga panik. Kepalaku semakin pusing. Gelap.
***
“Rian…” lirih suara perempuan yang ku kenal di telinga kiriku. Mataku perlahan terbuka seiring cahaya lampu menyorot silau. Aku mengerjap beberapa kali. Ku lihat ibu, ayah dan kakakku berdiri mengelilingiku di sebuah ruangan bercat warna biru.
“Kamu sudah sadar sayang…” tukas ibu tersenyum seiring air matanya menetes. “Ibu, ak-aku dimana?”
“Kamu di rumah sakit, dek.” sambung kakakku tersenyum. Ayah perlahan mendekat dan mengecup keningku. Begitu ibu dan juga kakakku.
“Cuma kamu yang selamat!” sambung ayah membuat mataku membulat.
“Yang lainnya?” tanyaku kaget. Ayah menggelengkan kepalanya pelan. Shock. Bagaimana dengan Rashka? Kenapa aku jadi kepikiran sama dia? Rashka! Kenangan itu datang menyelubungi hati dan pikiranku. Perjalan singkat yang ku lalui bersamanya perlahan terasa membekas di dalam ingatanku. Candanya. Senyumnya. Parasnya. Perawakannya. Ahh, entahlah. Yang jelas sekarang aku kehilangan dia. Pemuda yang menjadi teman perjalananku di kereta itu. Meski aku tidak suka saat dia banyak menggodaku dan menganggap aku adalah kekasihnya dulu, tetapi ada beberapa kejadian yang membuatku mengingat selalu wajahnya. Saat dia memberiku sekaleng minuman, saat dia maaf mencium keningku, saat dia memberikan jaketnya guna menghangatkan badanku walau aku telah memakai sweater, dan saat dia menjagaku dengan memeluk agar aku tidak tertimpa serpihan kaca. Meski singkat. Tapi kejadian itu terasa begitu melekat. Terendap indah di hati.
***
Seminggu berlalu aku tersadar Rashka pernah menyelipkan sesatu di dalam kantong kemejaku waktu itu. Aku sempat mengambil dan menaruhnya di dalam laci meja belajarku. Dengan menggunakan kursi roda karena aku masih dalam masa perawatan, aku mengambil kertas itu dan membawanya ke taman. Lalu membacanya di sana.
‘Bandung, 12 Juni 2012’ sontak aku terkejut. Kejadian seminggu yang lewat adalah tanggah 05 Februari 2013. Karena penasaran aku memutuskan membacanya.
‘Hai, Rian! Kau pasti sekarang sudah sehat ‘kan? Aku tidak tahu kenapa kamu lupa sama aku akhir-akhir ini. Dan sepertinya kau memang lupa kalau kita pernah menjalin hubungan waktu itu. Setahun yang lalu. Aku maklum, kedua orang tua kita tidak bisa menerima semua ini. Bahkan semesta pun demikian. Semuanya. Karena kita memang tidak seharusnya bersama. Tapi aku cinta. Aku suka dan sayang sama kamu. Lalu, orang yang itu sekarang tidak mengirimiku doa, tidak pernah menabur bunga, kemana dia? Apa cintanya mati setelah aku pergi selamanya?
Rian! Aku selalu menantimu. Menunggumu. Bahkan di dalam kereta itu, aku rela mati agar kamu selamat dan tetap hidup bersama keluargamu. Tapi sekarang, kau memang berubah. Kau sudah melupakanku. Kenapa? Kalau aku rela mati karenamu, maka sudah seharunya kau juga rela mati karenaku. Karena kita berjanji waktu itu, untuk terus bersama. Sekarang, aku menunggumu, Rian! Datanglah untukku. Kekasihmu, Rashka.’
Aneh. Benar-benar aneh, kenapa ini semua terasa aneh. Aku melipat kertas aneh itu dan membuangnya kedalam tong sampah. Rashka menulis surat di tujukan atas nama Rian tahun lalu. Perasaan ini semakin tidak karuan jika mengingat kejadian itu. Berarti, Rashka itu adalah arwah gentayangan? Ahh, apa dia menganggap aku ini Rian kekasih anehnya itu? Atau jangan-jangan surat itu memang untuk Riannya Rashka? Entahlah. Tapi aku sudah membuang surat itu. Aku lega. Semoga Rashka tidak menggangguku lagi.
Tin….tin…tin… Sontak aku terkejut saat sebuah mobil mewah berusaha membanting stir demi menghindariku yang tanpa kusadari ternyata aku berada di tengah jalan raya. Aku panik dan berusaha mengayuh roda ini dengan cepat. Braaaak. Bagian belakang mobil itu sempat mengenai kursi rodaku dan aku pun tersungkur. Aku tergeletak tak berdaya. Badanku rasanya sakit semua. Mataku terbelalak lebar saat mobil datang dari arah lain kemudian melintas lalu ban kanan depan mobil itu melindas kepalaku. Gletak. Semua terasa gelap.
SEKIAN
Karangan : Imuk Yingjun
Semoga dari cerita ini kita dapat mengambil hikmah dan pelajaran.