Cerita Hantu Diary Albert



         Mobil Jeep berhenti tepat didepan teras balkon lantai satu. Aku turun seraya menghirup udara segar. Rasa penat hilang seketika. Hawa di bukit ini sungguh menyegarkan. Mataku mengitari sekeliling Villa mungil yang dipagari rimbunan pepohonan redwood dan akasia. Sebuah beringin tua tampak kokoh di disebelah selatan danau. Aku sempat bergidik melihatnya. Seram. Diana lari masuk kedalam sambil berteriak memanggil paman Jessy. Ayah menjinjing koper dan ransel.



“ Tom, bantu ibu membawa box di bagasi mobil, setelah itu kau antar ke dapur.” Ujar ibu sambil mengangkat tas, juga ranselnya. Aku mengangguk. Di dapur seorang perempuan berbadan gemuk terlihat sedang mengiris bawang dan sayur.

“ Hai bibi Di.” Lirihku tapi mengejutkannya.

“ Hai Tom!” sahut wanita itu seraya meletakkan pisau lalu memelukku. “ Kenapa aku tidak mendengar suara mobil kalian?” ia mencium rambutku. “ Kami sengaja tidak membunyikan klakson. Ini kejutan dari ayah.” Tukasku. “ Dan sepertinya ayahmu berhasil membuatku terkejut. Bagaimana kabarmu?”

“ Seperti yang kau lihat. Aku baik baik saja.” Segera aku meletakkan box itu didekat meja dapur.

“ Terakhir aku melihatmu, kau masih kecil, sekarang tak kusangka. Kau sudah remaja dan sangat tinggi. Kau tampan sekali anakku. Seperti ayahmu…”

“ Tapi Bens sekarang terlihat lebih tua! Wajahnya telah memudar. ” celetuk ibu dengan membawa keranjang berisi roti.

“ Oh Mandy-ku sayang, apa kabarmu?”

“ Aku baik baik saja. Paman Jessy dan David kemana? Dari tadi aku tidak melihatnya?”

“ Mereka sedang pergi. Melepas sapi di ladang. Tengah hari mereka akan pulang.”

“ Oh begitu, yah. Tom. Istirahatlah.” Ketus ibu padaku. Aku mengangguk dan berlalu.

***

Mataku melihat danau yang indah dari balik jendela kamar. Memandang biru langit diatas pulau Cooper. Ini kali pertama aku liburan dan mengunjungi Villa baru kami. Aku duduk didepan meja persegi. Mataku melihat sebuah buku harian berwarna hitam. Diary siapa ini?

Diary Albert

Malam yang gelap aku duduk diberanda lantai satu. David berkutat didepan Novel yang dipinjam dariku. Mataku menerawang bintang di angakasa yang lengang. Sunyi dan hening penuh kesan bahagia. Tanpa sengaja ku lihat sekelebat sosok lelaki berjubah hitam melintas di depanku. Lamunanku tersentak.

“ Kau melihat itu David?” tanyaku ketakutan. David menutup buku lalu melengosku.

“ Melihat apa?”

“ Ada yang melintas di depan kita barusan. Apa kau melihatnya?”

David menggelengkan kepalanya. Lalu tersenyum di susul kembali membaca Novel The Diamond Crown karya Michael Lewarth. Seorang penulis muda dari Auckland. Entah mengapa sejak melihat bayangan tadi perasaanku mulai tidak enak.

Karena malam ini kami hanya berdua, terpaksa aku meninta David tidur di kamarku. Ayah, Ibu, paman Jessy , bibi Di dan Diana menginap selama seminggu di rumah paman Renhart di kota kecil. Tante Rachel baru saja melahirkan anak pertamanya. Ayah diminta membaptis Renhart yunior. Aku menatap langit-langit kamar yang remang ini. David telah pulas. Aku tidak bisa tidur. Bayangan-bayangan aneh serasa menguntit di setiap jejak langkahku. Semenjak aku memasuki Villa ini, sepertinya ada yang terus mengawasiku. Tapi siapa?

To..tok..tok..

Telingaku menangkap seorang mengetuk pintu kamarku. Aku membangunkan David. Dia larut dalam mimpinya.

Tok..tok..tok..

Untuk kedua kalinya aku mendengar suara itu. Aku mencoba menepisnya dengan tidak menghiraukan. Ku sumpal telingaku dengan earphone. Mendengar musik Ballad. Country dan Pop. Sesaat kemudian.

Whussss.

Sontak aku terkejut. Gorden putih yang menutup jendela kamarku melayang di hempas angin kencang. Mataku terbelalak. Tiba-tiba seorang lelaki sebayaku duduk di bawah jendela dengan wajah pasi dan merengkuh lututnya. Ia seperti orang yang lama tenggelam di air. Pucat. Dingin. Dan membiru. Matanya pendar menatapku. Aku menggoyang badan David tanpa melihatnya. Mataku fokus pada remaja berusia 14 tahun itu yang terus menatapku tajam. Jantungku seakan berhenti berdetak. Remaja itu menakutkan. Dia tak ubahnya seperti mayat yang butuh pertolongan.

Cukup lama aku membangunkan David. Saat aku mencoba melihat sepupuku itu. Astaga. David tidak ada disebelahku. Kemana dia? Bukankah seharusnya dia masih terbaring di ranjangku? Mataku kembali menatap remaja itu. Hah. Dia juga tidak ada? Hanya bekas rembesan air yang terlihat di bawah jendela. Aku beranjak lalu keluar mencari David. Seluruh ruangan di Villa ini telah ku jajaki. Namun hasilnya Nihil. David tidak ada? Kemana dia? Kenapa aku ditinggal sendiri.

***

Aku menghubungi nomor David. Tidak aktif. Aku menelfon rumah paman Renhart. Tidak ada yang menyahut. Aku semakin merasa kacau. Di sabotase? Oleh siapa? Apa mungkin remaja itu? Aku menutup gagang telefon. Aku belari menuju lantai tiga, aku ingin mengambil sweaterku. Saat membuka pintu kamar…

“ Astagah?!” teriakku setengah mati. Tidak percaya dengan apa yang sedang aku lihat.

Remaja yang tadi duduk dibawah jendela kamarku kini telah berdiri dengan kaku dan membisu. Rambutnya basah. Pipinya berdarah. Bibirnya pucat kering. Remaja itu telanjang sehingga dengan jelas aku melihat kemaluannya. Matanya pendar menatapku. Seketika angin datang dan menyeruak aroma amis di susul bau bangkai yang bacin. Remaja itu mendekatiku dengan kedua tangannya yang hendak mencekik leherku. Sontak aku panik. Tanpa banyak berfikir aku langsung berlari meninggalkannya. Aku melewati koridor menuruni tangga menuju lantai dua. Berlari lagi menuruni tangga menuju lantai satu. Nafasku terengah-engah. Aku berhenti sejenak. Kutatap balkon lantai tiga. Remaja itu tersenyum padaku. Dalam sekejap mata dia menghilang.

Aku duduk di ujung anak tangga seraya mengatur pernafasan. Memikirkan apa yang sedang kualami barusan. Apa di Villa ini ada hantunya? Tapi, David kemana? Belum habis fikir benakku dengan pertanyaan yang datang bertubi-tubi. Seketika bulu kudukku merinding. Bau amis dan busuk itu kembali menyeruak hidungku. Angin berhembus dari sebelah kiriku. Tiba-tiba serasa ada orang yang duduk disampingku. Perlahan aku melengosnya. Dan…

“ Aaaaarrggh.” Dia lagi. Remaja itu duduk disebelahku dengan pandangan menatap pintu utama. Dia membisu. Aku harus pergi. Entah mengapa lidahku kelu. Badanku susah di gerakkan. Aku mencoba beringsut berdiri. Baru selangkah aku berjalan.

Tappp. Aku ketakutan. Keringat dingin merembes tanpa henti.

Tangan kasar dan dingin, berair, menggenggam erat kaki kananku. Aku semakin merinding. Perlahan kuku tajam melukai betisku. Aku berontak melepas cengkraman remaja itu. Ku hentak kaki ini tetapi tangannya semakin kuat mencengkram. Dalam hati aku berdoa. Agar Tuhan menolongku. Saat itu juga ia melepas kakiku. Aku berlari dan membuka pintu utama. Ku tatap sejenak remaja yang duduk membatu itu. Matanya menatapku penuh arti. Aku tidak peduli. Aku harus keluar dari Villa ini.

***

Jalan aspal terbentang tanpa ujung di kelilingi hutan Redwood. Aku berjalan seorang diri. Hanya mengenakan piyama. Tanpa menggunakan alas kaki. Luka akibat cengkraman itu membuat betisku nyeri. Udara dingin menusuk daging dan tulangku. Perutku perih. Kepalaku pusing. Badanku oyong dan lunglai. Di depan sana mataku samar-samar menatap cahaya kendaraan yang menuju kearahaku. Ada secercah harapan. Aku melambaikan tangan berharap kendaraan itu berhenti dan memberiku tumpangan. Nihil. Mobil itu melintas. Tanpa sengaja mataku menatap penumpang yang ada di dalamnya. Astaga. Lagi-lagi aku terkejut. Remaja itu duduk di kursi belakang dengan menatapku tersenyum. Mobil itu berlalu. Lalu, hilang di balik jalanan yang menurun. Aku mengatur pernafasan.

Duaaaarrrr. Jantungku berdegup kencang mendengar suara dentuman di ujung jalan sana. Api meluap. Mobil itu meledak lalu terpelanting dan kurasa terjerembab masuk kedalam danau di depan Villa kami. Tak kusangka kepingan kerangka mobil itu melayang dan sukses menghantam badanku dan membuatku terpelanting puluhan mill. Aku tak sadarkan diri.

***

Gelap. Pengap. Dingin. Basah. Dan apalah namanya.

Saat mataku terbuka. Aku berada di sebuah kamar yang tidak aku kenal. Lelaki berusia dua puluh tiga tahun tersenyum padaku. Dia memberiku secangkir coklat panas dan meletakkannya di meja.

“ Minumlah, itu akan membantu memulihkan tenagamu.” Desisnya.

“ Aku dimana?”seketika kulihat lelaki itu menyatukan alis yang kutangkap artinya heran.

“ Ini rumah kita.”

“ Rumah kita? Kamu siapa?”

“ Hei, ada apa denganmu Albert? Apa karena tertimpa kayu itu kamu jadi amnesia? Jangan bercanda ahh. Tidak lucu.” kelakarnya di sertai tawa.

“ Serius. Aku tidak tahu siapa kamu? Namaku Tom. Bukan Albert.” Kilahku.

“ Ya. Memang benar, namamu itu Tom. Tapi aku memanggilmu Albert. Karena nama panjangmu Albert Tommy Rudolf. Aku Delon. Kakakmu. Apa kamu sama sekali tidak mengingatku?” tanyanya heran disertai raut wajah yang tampak kebingunan. Aku menggelengkan kepalaku. Lelaki yang mengaku Delon itu duduk disudut ranjangku.

“ Istirahatlah.” Lirihnya kemudian keluar dari kamar sederhana ini. Aku melihat dari jendela, Delon membawa kapak dan masuk kedalam hutan. Kepalaku terasa pusing. Entah kejadian apa lagi yang akan datang menghampiriku. Ku raih cangkir itu, dan menyeruput seteguk coklat panas buatan Delon. Enak. Tapi jujur. Aku semakin pusing dan merasa aku tidak waras. Namaku bukan seperti yang disebutkan Delon. Namaku Michael Tom Achuleta. Aneh bukan?

***

Malam ini adalah malam ketujuh aku tinggal bersama Delon. Di kamar sederhana ini aku menulis cerita tentang Delon yang kesepian. Sendiri. Dan sebatang kara. Kreekk. Pintu kamar terbuka. Aku melihatnya tersenyum lalu masuk menghampiriku.

“ Kau menulis apa?” selidiknya.

“ Umm..tidak ada. Hanya coretan biasa.”

“ Kau pasti berbohong.” Dengusnya seraya berusaha mengambil catatanku itu.

“ Jangan Delon, itu bukan untuk dibaca kamu.”

“ Biarin, aku mau melihatnya.” Tukasnya dan terus berusaha menggapai dari balik punggungku.

“ Jangan..”

“ Albert, aku mau melihatnya. Sebentar saja, aku hanya ingin mengetahui isinya. Boleh yah?” ujarnya memelas. “ Tidak boleh.”

Dooor. Dooorrr. Terdengar suara tembakan menghantam pintu. Sontak Delon memelukku dan menindih lalu mengarahkanku menuju balik sofa di depan tungku penghangat ruangan.

“ Mereka sudah datang.” Lirihnya.

“ Siapa?” bisikku ketakukan.

“ Mereka adalah orang yang ingin membunuh kita.”

“ Membunuh kita? Kenapa?”

“ Sudah jangan banyak bertanya. Nanti aku jelaskan.”

Aku dan Delon lari melewati pintu belakang. Kami menyusuri hutan. Di tepi sebuah danau kami berhenti. Empat orang lelaki dengan laras panjang menghadang kami di belakang. Aku ketakutan.

“ Delon dan Albert. Bagaimana kabar kalian?” desis lelaki dengan tatapan mata ular.

“ Kalian mau apa lagi?” bentak Delon.

“ Serahkan dia kepadaku.”

“ Tidak. Tidak akan. Dia adikku.”

“ Serahkan atau aku menembakmu.”

“ Tidak akan pernah!”

“ Kamu mau melawanku? Serahkan atau aku benar-benar membunuhmu.”

“ Kau boleh membunuhku, tapi jangan merebut Albert dariku.”

“ Ah bedebah. Tembak dia!”

Dorrr. Dorrr. Suara tembakan menggema di tengah hutan. Delon terkapar penuh luka. Seorang lelaki menyeretku dengan paksa, aku coba melepas. Mungkin karena aku terus berontak lelaki itu marah, kemudian menamparku.

“ Diam.” Dengusnya kesal. Kemudian mereka membawaku. Saat hendak masuk kedalam Jeep hitam, aku lari dan menyelamatkan diri. Mereka mengejarku. Tanpa pikir panjang aku menuju bangunan yang belum sempurna berdiri didepan danau ini. Aku masuk kedalam basemen. Tanpa kusangka mereka menemukanku. Aku berontak menghindar. Lelaki bertopi miring itu berusaha menangkapku. Aku menendang kemaluannya. Dia kelimpungan. Aku lari menuju lorong baseman.

Dooorrr. Seketika aku susah bernafas. Dada dan perutku nyeri. Aku jatuh tersungkur.

“ Goblok. Kenapa kau tembak dia?” tukas lelaki yang aku rasa adalah pemimpin mereka.

“ Sa-saya tidak sengaja Boss.” Samar-samar aku tidak lagi mendengar suara. Darah amis mengucur. Sesaat kemudian mereka mendekatiku. Seseorang menendang perutku. Aku nyaris tak sadarkan diri. Lalu mereka membopong dan membawaku entah kemana. Di dekat pintu basemen. Kupaksa membuka mata ini, sekedar melihat keadaan. Dan…

Byuuurrr. Mereka memasukkanku kedalam sebuah sumur? Ya. Aku di ceburkan kedalam sumur. Gelap. Pengap. Sepertinya aku akan mati ketika sebuah benda bulat dan keras menimpa kepalaku. Pintu sumur itu mereka tutup. Aku masih bisa bernafas dan sisa udara meski aku gelagepan. Aku terus berontak untuk melepas tali yang melilit di batu. Aku tenggelam di dasar sumur. Lalu….

Semua hening.

***

Hening. Legang. Tidak ada suara. Tidak ada angin. Tidak ada kehidupan?

Aku susah bernafas dan sesak karena masih gelagapan. Mataku menangkap cahaya di atas sana. Dan…

“ Haaaaahhh.” Aku seperti orang yang muncul dari dasar laut. Nafasku tersengal-sengal. Saat mataku terbuka dengan sempurna cahaya matahari langsung menyerang. Silau. Seseorang berdiri disebelaku.

“ Bibi Di?” tanyaku terkejut.

“ Yang lainnya sedang menungumu. Ayo kita sarapan.” sahutnya membuatku heran.

“ Sejak kapan aku tertidur dikursi ini?”

“ Aku rasa dua puluh menit yang lalu. Kamu sepertinya terlalu lelah dalam perjalanan hari ini. Pakaianmu sudah aku masukkan kedalam lemari. Sekarang ayo sarapan. kamu tidak ingin mereka kelaparan karena terlalu lama menunggumu ‘kan?”

Aku menggaruk kepala yang tidak gatal. Ternyata aku bermimpi. Bibi Di tersenyum seraya mengelus pundakku.

“ Tidak baik membaca catatan orang yang sudah meninggal.” Bisik bibi Di kemudian ia berlalu. Aku duduk termangu. Didepan pintu bibi Di tersenyum, lalu mengedipkan mata.

***

Malam ini aku duduk didepan meja persegi. Membaca lanjutan diary Albert yang penuh misteri. Ternyata Albert adalah adik Delon yang tewas dan terkubur didalam sumur basemen Villa ini. Mereka kabur dari rumah karena ayah Delon tidak ingin Albert mengikuti jejak kakaknya yang arogan dan suka memberontak. Villa ini dulunya adalah milik keluarga Albert. Sudah empat keluarga yang membelinya. Dan kami adalah keluarga terakhir yang menempatinya dari tahun 2009 hingga sekarang. Sedang asyiknya aku membaca, tiba-tiba hidungku mencium aroma busuk. Angin malam membuatku merinding. Jendela kamarku terbuka. Aku terkejut. Delon berdiri di tepi jendela dengan tatapan marah. Ia mengacungkan tangan melihatku kesal. Seperti ada sesal dan kecewa yang mendalam karena aku di terkesan melupakannya. Dorrr. Sebuah peluru menembus dadaku.
TAMAT


Karangan : 

Semoga dari cerita ini kita dapat mengambil hikmah dan pelajaran.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Best Dating Sites
Platform Pengiriman Pesan Instan
Platform Sosial Media

Top Profiles
Siska Media di TikTok
10.0/10
Siska Media di TikTok
Channel Siska Media di Youtube
10.0/10
Channel Siska Media di Youtube