—
Alunan musik memenuhi ruang mobil mewah ini. Sedan putih mengilat melaju menembus jalan pegunungan. Di kanan kiri jalan disambut pepohonan hijau. Mereka berjajar gagah namun merunduk seakan patuh pada sesuatu yang tak terlihat. Alam memang kuat namun bersahaja. Alam terlalu suci untuk dikotori perbuatan tercela manusia, seperti aku. Sekelebat teringat kebejatan yang ku lakukan selama ini. Kekagumanku pada keindahan alam yang terpampang di balik kaca mobil ini tak seberapa dibanding kekagumanku pada diriku sendiri. Aku cantik, manarik, bersuara merdu, dan pandai merayu lelaki. Aku menikmati kebersamaanku dengan para lelaki yang mampu penuhi semua inginku, nafsuku, dan ambisiku.
Seperti Donny, lelaki yang sedang menyetir di sampingku. Ia membawaku dengan mengendarai sedan putih ke tempat menginap eksklusif di kaki pegunungan ini. Siapa yang tak mengenal daerah ini? Begitu sejuk dan romantis untuk menghabiskan waktu berdua bermalam dengan pasangan. Ya, seperti aku dan Donny. Sore ini kami memulai perjalanan untuk mencari penginapan di daerah ini. Langit yang mulai teduh dan hawa semakin sejuk menyapa perjalanan kami.
“Venna, kita jadi nginep di mana?” tanya Donny. Pria tampan itu tersenyum padaku.
Aku yang sejak tadi menikmati pemandangan, kini beralih menikmati ciptaan Tuhan yang satu ini. Donny. Siapa wanita yang tak kan terpikat padanya? Ayahnya seorang mantan pejabat tinggi yang juga punya beragam bisnis. Donny mewarisi salah satu bisnis ayahnya. Dengan segala fasilitas nomor wahid ditambah wajah rupawan, ia pun mampu menaklukkan hatiku. Walau ada hal yang tidak aku suka dari dia. Aku terlalu bandel dan tidak peduli dengan statusnya yang telah beristri. Ya, Donny bukan pria lajang…
“Kita cari yang bagus dong.. Masa mau nginep di tempat murahan sih, Sayang” ujarku manja. Donny tertawa renyah. Ia memang mempesona. Aku sangat menyukai segala hal tentangnya, kecuali satu: istrinya. Oh ya, satu lagi.. Dia juga sudah mempunyai seorang anak berumur 2 tahun. Masa bodoh dengan semua itu! Toh, Donny sendiri mau main gila denganku.
Perkenalanku dengan Donny terjadi ketika aku ada job menyanyi di sebuah kafe eksklusif. Profesi utamaku memang penyanyi. Dengan bermodal suara merdu dan wajah cantik, tidak sulit mendapatkan job menyanyi dari kafe ke kafe, atau dari panggung ke panggung. Sayangnya, aku belum berkesempatan menjadi penyanyi rekaman. Sebenarnya penghasilanku lumayan, tapi aku masih selalu merasa kurang. Untuk biaya perawatan tubuh, kostum panggung, perhiasan, assesoris, tas, sepatu, kacamata, kendaraan pribadi, dan lain-lain. Semua barang pendukung harus aku miliki agar penampilan terlihat lebih ‘wah’. Itu salah satu caraku untuk memikat hati orang yang memakai jasaku.
Namun selain menyanyi, aku juga tidak menolak ajakan kencan para pria yang terkagum-kagum dengan pesonaku. Tentunya harus ada imbalan yang setimpal. Bisa dibilang itu layanan ‘plu-plus’. Hingga aku berkenalan dengan Donny dan kali ini ada yang berbeda. Tidak seperti pria-pria lain yang hanya ku butuhkan uangnya, tapi khusus Donny, aku juga butuh ia selalu di sampingku. Entah karena ia yang paling kaya, paling tampan, paling perhatian, atau karena kami memang saling menyayangi. Ya, semua itu benar! Tanpa peduli Donny sudah beristri dan punya anak. Aku merasa ia sungguh mencintaiku dan sebaliknya aku pun sama.
Memandang wajah Donny membuatku semakin bernafsu untuk memilikinya. Aku menggenggam pundak Donny yang sedang menyetir mobil. Perjalanan kita hampir sampai ke tempat penginapan. Tiba-tiba ponsel Donny yang diletakkan di dashbor berbunyi tanda ada panggilan masuk. Aku segera mengambilnya. Aku baca nama yang tertera di layar ponsel: “My Lovely Wife”.
“Dari siapa, Venna?” tanya Donny sambil tetap fokus menyetir.
“Istrimu! Kenapa masih telepon? Kamu udah pamit dengan alasan urusan bisnis kan?” tanyaku mulai curiga.
“Iya… Tapi kalau telepon begitu biasanya penting.”
“Penting apa?” aku me-reject panggilan dari istri Donny.
“Venna, Sayang… Jangan di-reject!” Donny mulai memprotesku.
Beberapa saat kemudian, sebuah pesan singkat masuk. Dari “My Lovely Wife”, isinya: “Mas Donny, Reyhan lagi sakit demam. Dia rewel panggil Papa terus. Tolong, bisa pulang sekarang!” Aku memicingkan mata membaca SMS itu. Kenapa bukan aku yang jadi istrinya? Aku cemburu. Anaknya sakit, lalu haruskah Donny pulang?
“Venna, mana handphone-nya sini!” Donny meminta ponselnya. Aku tidak memberikannya. Beberapa saat suasana hening. Aku sedang kesal, mungkin Donny juga. Maaf Donny, aku harus berulah begini. Aku tak ingin diganggu istrimu! Tapi kemudian panggilan masuk lagi. Dari “My Lovely Wife”.
“Istriku lagi yang telepon? Sini, kasihkan HP-nya! Venna!” nada suara Donny mulai meninggi.
“Aku udah bilang, aku gak mau acara kita ini terganggu sama istrimu! Termasuk dengan telepon ini!” bentakku.
“Venna, acara kita tetap lanjut kok! Tapi biarin ku angkat telepon istriku!” Donny masih menyetir tapi dengan satu tangan berusaha meraih ponsel dari tanganku.
Tanpa pikir panjang, aku membuka jendela mobil lalu melempar ponsel itu ke jalan! Aku menggenggam tangan Donny dan berkata tegas, “Kamu milikku, Don!”
“Venna!! Hey!! Apa-apaan kamu?!” Donny berteriak sambil berupaya melepas tangannya dari genggamanku. Ia menoleh ke belakang, melihat jalan di mana ponselnya aku buang. Konsentrasi Donny sudah buyar. Ia tak memperhatikan lagi jalan di depannya. Padahal tempat penginapan yang kami tuju sudah dekat.
Aku yang melihat jalan itu tersentak. Beberapa meter di depan mobil ini ada sosok nenek menyeberang jalan. Kondisi jalan pegunungan yang berupa tikungan tajam sangat curam. Ditambah langit yang gelap karena matahari baru terbenam. Rasanya mobil ini tak mampu menghindari nenek yang tepat di depan kami.
“DONNY!!! AWAASSS!!!” jeritku.
Donny tersentak lalu membanting setirnya ke kiri.
BRRAAKKK…!!! Mobil menabrak pohon besar di tepi jalan. Aku merasakan sakit di sekujur tubuh. Pandanganku gelap. Hening.
—
Mataku terbuka. Aku berada di samping mobil yang hancur menabrak pohon. Aku melihat seorang pria berlumuran darah dibopong oleh orang-orang yang berkerumun menyelamatkannya. Aku memandang wajahnya. Aku ingat, itu Donny! Oh, Donny-ku… Malangnya nasibmu. Masih hidupkah kau? Lalu diriku sendiri? Masih hidupkah aku??
Tubuhku terasa sangat ringan, seperti dapat tertiup angin. Seperti melayang di udara. Aku menghampiri kaca mobil yang retak dan bercermin di sana. Aku melihat tubuhku sendiri, tapi ini berbeda! Tidak seperti dulu yang begitu cantik. Wajahku hancur, rambutku kusut, tubuhku hanya tertutup kain putih panjang, koyak, dan lusuh. Tiada lagi pakaian indahku dan harum parfumku dulu, atau sepatu hak tinggi. Bau anyir menyengat. Kakiku tak menginjak tanah!
Aku mulai menangis, merintih, meratapi diriku. Semakin kencang menangis, namun tak ada sorang pun yang peduli. Aku berteriak keras-keras tapi yang terdengar hanya desahan tak jelas. Ingin pergi dari sini. Aku ingin pulang ke rumahku, tapi tubuh ini seperti terpaku di sini. Aku terdiam dan hari semakin malam. Semua orang meninggalkanku di bawah pohon ini…
(Orang-orang yang melewati jalan itu atau berhenti di bawah pohon besar itu, terutama pada malam hari mengaku sering mendengar suara tangisan perempuan. Para warga sekitar mempercayai itu adalah makhluk penghuni pohon besar yang merupakan arwah korban kecelakaan. Wallahu’alam… Hanya Allah Yang Maha Mengetahui tentang roh yang terbatas oleh penglihatan manusia. Mari kita jadikan pelajaran hidup. Sebagai hamba-Nya, kita semestinya selalu berbuat kebaikan pada siapapun agar selamat di manapun kita berada.)
Cerpen Karangan: Riski Diannita
Blog: riskidiannita.blogspot.com
Facebook: Diannita Riski
Namaku Riski Diannita. Aku lahir di Mojokerto, 5 April 1991. Kunjungi blog aku yaa di riskidiannita.blogspot.com atau Facebook Diannita Riski dan Twitter @RiskiDianNita saLam kenaL..