Sekitar pukul sembilan malam dengan suasana begitu sepi di jalan raya disertai gerimis kecil. Aku sedang duduk di kafe yang lumayan sepi karena hanya ada beberapa pelanggan dan pelayan yang sedang asik mengobrol di sebelah ruang kasir. Sudah beberapa minggu ini aku selalu mampir ke kafe ini tiap selasa malam. Awalnya karena hujan yang sering turun tanpa diduga-duga saat aku pulang kuliah. Jadwal kuliahku hari selasa mulai dari jam empat hingga pukul delapan. Lumayan berat memang mengingat musim penghujan di bulan-bulan ini. Kafe ini memang tak begitu spesial atau mewah, dan tak begitu menarik perhatian hanya dari tampak luarnya. Meskipun para pelayannya begitu ramah saat menyambut tamu, mungkin itu yang membuatku betah berlama-lama disini. Entah apalagi hal yang tak kuketahui yang membuatku merasa nyaman.
Secangkir kopi baru saja diantar oleh salah satu pelayannya. Namanya Sari, itu yang kuketahui setelah beberapa hari lalu berkenalan dengannya. Mukanya manis dan pastinya menarik, ramah dan juga punya senyuman yang khas. Meskipun tak banyak pernah berbincang dengannya disini. Pemilik kafenya juga terkadang turun langsung melayani pelanggan, Pak Santoso. Dia juga terlihat begitu ramah karena pernah berbincang lama denganku minggu lalu. Dia banyak berbicara tentang kehidupannya sendiri dan jarang mau mendengarkan omonganku. Agak aneh memang, tapi ku anggap hal biasa saja orang tua tak mau mendengar orang yang lebih muda.
Jam sepuluh malam, rokok di tanganku sudah hampir habis. Dan aku berniat untuk langsung keluar dan pulang sebelum tiba-tiba Sari duduk di hadapanku dan memandangiku dengan senyuman khasnya.
“ kenapa ?” tanyaku
“ mas, tahun ini aku mau masuk kuliah di kampusnya mas loh.”
“ oh ya ?”
Itu awal perbincangan lamaku dengannya, aku mengurungkan niatku pulang dan malah terdampar di kursi itu hingga hampir larut malah. Memang hanya perbincangan sederhana dan kebanyakan kata-kata dariku hanyalah apa yang ingin ku pikirikan malam itu. Tapi ternyata Sari begitu asik untuk diajak ngobrol, malah dia duluan yang memulainya. Beberapa menit sebelum aku pulang malah Pak Santoso ikut nimbrung disitu sambil bercanda tawa bersama kami karena pelanggan yang masih tersisa memang hanya aku. Kafe tutup tengah malam dan akupun pulang kerumah meskipun sedikit merinding karena jalanan yang sudah begitu sepi.
Begitu selasa berikutnya, aku langsung mampir ke kafe itu sepulang kuliah. Seperti biasa Sari duduk di sampingku setelah melayani pelanggan yang lain, berbincang dan mengumbar senyumannya yang khas. Secangkir kopi, sebungkus rokok dan sampai hampir larut malam aku disitu hampir setiap selasa malam. Terasa begitu nyaman dan membuatku terus menerus mengurungkan niatku untuk keluar sebelum kafe itu tutup.
Malam sabtu aku sedang berdua bersama Sari. Meskipun bukan selasa malam seperti biasanya, juga tak berada di kafe dua tiga melainkan berada di taman kota seperti pasangan yang sedang kencan. Bukan karena itu sebenarnya, melainkan selasa lalu Sari memintaku untuk menemaninya mencari perlengkapan untuk kuliah singkat tiga hari sebelum tahun ajaran baru. Dia juga mengatakan untuk izin kerja semalam sudah dibolehkan oleh Pak Santoso. Hampir semua perlengkapan sudah didapatkan seperti pakaian putih hitam, dasi, dan atribut lain.
Kami duduk di sebuah kursi di pojok barat sambil berbincang dan bercanda seperti biasanya di kafe. Suasana hangat dan nyaman juga terasa di tempat itu. Mungkin aku perlahan memang mulai jatuh cinta padanya. Karena seakan mengangkat kaki untuk beranjak dari tempat itu saja menjadi begitu berat. Tiba-tiba dari belakang terasa seorang menepuk bahuku. Itu Ivan dan Dina yang sedang tersenyum-senyum dan kemudian berdiri disampingku. Mereka berdua teman sekelasku di kampus.
“ lagi ngapain lo disini ? sendirian aja kayak orang ilang.” Ucap Ivan
“ emangnya lo pikir gue lagi duduk sama hantu ?”
“ hahaha, bisa aja lo. Ya udah ya, takut ganggu. Ayo Din.”
Mereka lalu beranjak dari tempat itu. Tak terlihat ada reaksi berarti dari Sari saat ada mereka, dia bahkan seolah tak peduli dan terus memandangiku sambil tersenyum.
Pukul setengah dua belas malam, dan aku sudah berdiri di depan sebuah rumah sederhana tak jauh dari kafe dua tiga. Sepi dan gelap hanya lampu teras yang menyala. Sari langsung membuka pintu yang tak terkunci dan memaksaku untuk masuk kedalam. Aku duduk di sebuah kursi di ruang tamu yang menyala lampu putih. Secangkir kopi lalu diletakkan olehnya di atas meja kaca.
“ kayak di kafe aja yah.” Ucapku sambil mencoba membuatnya tersenyum lagi.
“ kamu sendirian di rumah ini ?” ucapku lagi. Sari hanya menggeleng sambil tersenyum.
“ orang tuaku udah tidur duluan.”
Terdengar ucapan itu yang masih terasa begitu kental teringat olehku. Jam di kamarku sudah menunjukkan pukul Sembilan lebih beberapa menit. Aku masih duduk di tempat tidurku dan meremas-remas rambutku memikirkan apa yang terjadi padaku. Seingatku aku duduk di rumah Sari dan mengambil cangkir berisi kopi semalam. Setelah itu aku langsung memandangi jam dinding dikamarku dengan bingung seperti terbangun dari tidur. Lalu apa yang terjadi semalam ? apakah kejadian semalam cuma mimpi ? tapi bagiku terasa seperti sangat nyata.
Aku mengendarai sepeda motorku dan berangkat ke kampus beberapa menit setelahnya. Di kampus sendiri ada banyak calon mahasiswa baru yang memakai pakaian hitam putih sedang duduk di lobi depan. Aku sedikit memperhatikan mereka berharap ada Sari di salah satu dari mereka dan menanyakan kejadian semalam. Tapi tak ada dari mereka dan aku langsung naik ke lantai tiga menuju ke kelas yang sudah mulai berlangsung kuliah. Didepan tempat dudukku ada Ivan dan Dina yang sedang asik ngobrol tanpa menghiraukan dosen di depan.
“ lo nggak ikutan ngurusin mahasiswa baru Din ? biasanya aktif.” Ucapku sambil memegangi pundaknya dan memajukan sedikit kursiku.
“ entar habis kuliah ini, tugasku cuma ngabsen mereka doang kok.”
“ eh kebetulan, mana daftar absensinya ?”
“ ya masih di ruang dosen lah, belum tak ambil.”
Kuliah selesai, Dina memang langsung pergi setelah keluar dari ruangan kelas. Dan Ivan kemudian berjalan turun bersamaku menuju ke lobi sambil membicarakan semalam saat aku bertemu dengannya di taman. Dia membenarkan hal itu, hanya saja aku masih belum menyinggung tentang Sari padanya. Dan sampai di depan ruang dosen kulihat Dina yang sedang membawa beberapa lembar kertas absensi bersama dengan dua mahasiswi lainnya. Aku langsung menghampirinya dan merebut kertas itu.
“ ngapain elo Vin ?”
“ cewek yang semalem itu dia juga ikutan psu hari ini. Katanya dia masuk ruang 2.3. gue cuma mau lihat aja.” Ucapku sambil memperhatikan kalau nama Sari memang ada di absen kelas itu. Sari Hayuningsih. Kertas itu langsung direbut kembali oleh Dina dan menatanya dalam sebuah map.
“ udah ah, aku ntar telat lagi.” Ucapnya sambil berlalu bersama dua mahasiswi itu menaiki tangga.
“ lo tadi nyari siapa sih ?” ucap Ivan sedikit bingung
“ itu cewek yang semalem duduk bareng gue di taman. Yang tiba-tiba aja ada elonya nongol.”
“ cewek ?”
“ iya, lihat ke kelasnya yuk. Ntar gue tunjukkin.” Ucapku
Kami berdiri di depan ruang 2.3. mengintip dari pintu kaca sambil memperhatikan kalau hampir semua mahasiswi terlihat sama dengan pakaian putih hitam. Hanya saja tak kulihat ada keberadaan Sari diantara mereka. Kupikir dia tak berangkat, atau kenapa ? padahal semalam dia masih baik-baik saja. Tapi namanya benar ada di kelas ini.
“ dia nggak masuk kayaknya.”
“ kenapa nggak lo sms atau telpon aja sih ?”
Aku langsung terkaget dan menyadari kalau bahkan selama ini aku tak pernah menanyakan nomer ponsel padanya. Karena hampir tiap selasa malam aku hanya terbuai saat dihadapannya.
“ dia kerja di kafe dua tiga di jalan brigjen encung kalau malem. Tiap selasa kan kita pulang malem, aku kesitu terus dua bulanan ini. Dia emang nggak cantik-cantik banget. Tapi gue nyaman kalo bareng sama dia Van. Nggak tahu deh.”
Ivan langsung merangkul pundakku dan menarik berjalan menjauh dari depan kelas itu. Aku sendiri masih bingung apa yang dia lakukan, dia tak berkata banyak dan terus menarikku menuruni tangga. Entah apa yang ingin ditunjukkannya, sampai sepeda motornya berhenti di lokasi yang hampir tak asing bagiku. Jalan Brigjen Encung.
“ gue nggak tahu apa yang elo omongin Vin, tapi gue dulu juga beberapa kali pernah kesini bareng sama Dina. Terakhir kali waktu semester duaan dulu. Tapi seingat gue, kafe ini trus kebakaran dan ada beberapa pelanggan ikut mati sama pegawainya.”
Aku tak bisa berkata apa-apa lagi. Dihadapanku memang hanya puing bangunan yang gosong di sertai beberapa rerumputan mulai menyelimutinya. Lalu apa yang tiap selasa malam kualami ? aku benar-benar mengingatnya dengan jelas dan tak sedikitpun terasa seperti mimpi. Aku langsung bergegas menyuruh Ivan membawaku ke rumah Sari semalam. Rumahnya masih ada, dan hampir terlihat sama seperti yang ada di pikiranku. Hanya saja tak terlihat seorangpun disana, lampu teras juga masih menyala remang redup. Aku begitu menjadi bingung dan terus gemetar dari tadi.
Selasa, 20 November dua tahun lalu sekitar pukul delapan malam kafe dua tiga terbakar. 4 orang meninggal dunia beserta satu orang pengunjung, 9 orang mendertia luka bakar serius. Itu yang kudapatkan dari informasi di Koran yang diberikan oleh Ivan sore tadi. Sari, Pak Santoso, dan pelanggan yang duduk lain meja bersamaku di dalam kafe itu. Perasaan nyaman di dalamnya. Sampai hari ini aku masih mempertanyakannya.
Karangan : Itsna Bahauddien
Semoga dari cerita ini kita dapat mengambil hikmah dan pelajaran.