Data buku kumpulan puisi
Judul: Persinggahan Perangai Sepi
Penulis: Wawan Kurn
Penerbit: Garudhawaca, Yogyakarta.
Cetakan: I, November 2013
Tebal: x + 102 halaman (86 puisi)
ISBN: 978-602-7949-13-3
Cover, lay out: Wawan Kurn
Persinggahan Perangai Sepi terdiri atas Membaca Mimpi-mimpi (30 puisi), Persinggahan Kata-kata (28 puisi) dan Dipimpin Puisi (28 puisi).
Beberapa pilihan puisi Wawan Kurn dalam Persinggahan Perangai Sepi
Suburlah
aku ingin membangun
pohon pencakar langit;
Mari menebang gedung-gedung
yang telah tumbuh subur
di kota kita masing-masing
Air Mata
Air mata tumbuh, tulus memandang langit
di pipimu bersandar waktu
dan mengalir akar-akar kehidupan
menyalakan matamu,
hujan memeluk air matamu
air mata jatuh, rindu kepada risau
di mata kekasih bertumpu harap
dan tumbuh akar dalam tanah
menghidupkan tubuh
langit memandang
Persinggahan Perangai Sepi
suara Tuhan tak begitu jelas
meski kau menuju jalan sunyi
bernyanyi memanggil dirimu
kau tetap akan menyesal
dan tak ada yang mampu kekal
bahkan kau tertidur dalam mimpi
dan perlahan menyadari jika tak ada
yang akan pernah berhasil
membangunkan dirinya sendiri
hingga kau jatuhkan dirimu
dalam perjalanan sepi
yang tak punya dunia
selain sendiri tanpa dirinya
ada di hadapan Tuhan yang paling sepi
Buku Dalam Dirimu
mataku takut bertemu
seluruh angka halaman buku
sebab aku takut berada di halaman terakhir
dan mengakhiri bacaan
sementari jariku
bergetar menyentuh
dan membuka angka halaman
seluruh hati patuh
kepada cemas tiap halaman
kemudian;
aku masuk ke dalam paragraf
seperti hidup tanpa titik
mengalir tak bermuara
dan tumbuh jadi kalimat-kalimat baru
dari semua itu
aku berdoa
agar engkau menjadi buku dengan
jumlah halaman tak terbatas
dan tanpa aku bertanya
“halaman berapa dirimu akan pergi?”
Telapak Danau
– ibu
Kepada perjalanan jauh
dan seluruh keluh
telapak tangannya berubah
menjadi danau teramat tenang
namun percik danau juga punya keluh
maka langkah selalu kutuntun kembali
tempat aku belajar memancing waktu
tepat saat ikan-ikan menjadi rindu
kemudian ingatan menjadi kail
dengan umpan sekumpulan kenangan
maka jika hujan jatuh,
saat aku tiba, di bibir danau
aku ingin Tuhan mengubah tubuhku
menjadi dua belah pipi, seluruhnya
semoga hujan mewakili segala doa
menjadi air mata dan
basah di kedua belah pipi
agar pertemuan kita menjadi puisi
atau aku berubah menjadi kerikil
kemudian seorang anak melemparku
hingga aku tenggelam
menuju peluk danau
dan rindu kita tuntaskan bersama
Puisi Kaca
kaca berkata bahwa “dunia mencintai kata”
sebab setiap pagi, seorang gadis cilik berkata
pada kaca;
“adakah kata yang mencari kaca?”
“adakah jiwa pecah pada sebuah sajak, yang berniat
menjadi cermin?”
kata ini ingin berkaca dan bertanya;
“bolehkah aku lahir sebagai puisi dalam puisimu?”
Meluapkan Lupa
Gunung yang tenang sebisa mungkin
menjadi kekasih bagi pandanganmu
rumah bambu yang rapuh sekiranya menjadi
persinggahan rasa kemarin
lumpur di sepatu dan keinginan mendaki gunung
mesti dilahap siang dengan panas ganas menghapus
memang kita mudah melupakan, namun senang pula
meluapkan
dengan keinginan besar kemudian pintu masuk
sungguh amat kecil
Maka jadilah rumah bambu tanpa ada rasa rapuh
kemudian haru.
Mari letakkan haru
yang harapan
tumbuh di puncak gunung
Tanpa sadar telah memilah waktu
untuk menuntun dosa
menjadi sujud amat rindang
bagi jiwa kita masing-masing
Menyiasati Dewasa
Dijatuhkannya ketabahannya
pada jiwa anak-anak
yang selalu ingin belajar
berlari dan meminta pada angin
agar layang-layang putus kemarin
tertahan pada reranting di samping masjid
tempat dua burung camar bersanding
memimpikan sarang yang tercipta
dari keinginan masa lampau
sepasang kekasih jauh lebih mendamba
maka dilahirkan kicau dalam kalbu
pada pagi hari yang penuh merdu.
angin menyimpan sebagian tubuhnya
pada tahun-tahun yang panjang
di saat sejumlah anak-anak menghitung tawa
hingga dewasa nanti, ketabahan bersiap pergi
melupakan peristiwa di samping masjid
dan lagi, Tuhan selalu menang menciptakan kita
Setelah Kau Berhasil Membuatku Sendiri
~ nama seorang yang tak berani kutuliskan
pikiranku menjelma rimba raya kata,
dan dengan sengaja
berniat untuk membuatmu selalu tersesat,
agar kiranya kau akan selalu terjaga,
mungkin kau tak akan terjebak dalam dukaku
yang tumbuh dengan lebat, lebih dari apa saja
namun, suatu ketika kau akan ikut terluka
dengan kutukan takdir yang menyakiti kata
kini, tak ada yang hendak kusapa
selain titian waktu di hadirmu
sepanjang hari, kuulang pikiranku
melihatmu datang di pikiranku
berhentilah memaksaku sendiri, kekasih!
kau tak akan pernah berhasil,
sebab bayangmu telah bersedia setia
meski kau telah meniadakanku di pikiranmu
pikiranku, mendoakan perasaanmu malam ini
kekasih!
Layang-layang April
Sepadan kata telah disulam dan digulung
sewaktu-waktu kau boleh mengurainya
sepanjang keinginan kau dan kawan-kawanmu
sebab layang-layang yang mesti kau terbangkan
adalah luka
Langit masih biru di beberapa pandangan
Hari masih ganjil silih berganti
dan teka-teki masih bertubuh di pangkuan sajak
memang, layang-layang ini untuk dirimu
sepanjang kata telah kuhubungkan
setelah putus kau gunting dan luka
tubuhmu dan kerangka layang-layang
sesungguhnya luka yang senang diterbangkan
bulan ini kita segera merayakan kematian
petir akan menyambar tubuh dan luka
mungkin menjadikan duka segala senja
dan tanah lapang tempat kita saling berharap
Pada Rahim Hujan
perempuan yang lahir dari rahim hujanku,
tumbuh dan dibesarkan deras waktu
sebab langit di kepalaku
sibuk menampung cemas
tak punya waktu merawatnya,
perempuan yang lahir dari rahim hujanku,
dengan tabah meminta duka kemarau
bersedia setia pada gersang tubuhku
hingga usai usianya di bumi
kami tetap akan saling mencari,
saling mengisi
kepadanya,
aku ingin dia bermukim dalam mataku
yang tak pernah pandai menjelma payung
saat kasihnya jatuh bergantian bersama hujan
akan kutampung seluruhnya, inginnya
kepadanya,
telah kusiapkan sebuah persinggahan
yang hingga ingatan kami berhenti mengenang
kami tetap terjaga dalam sebuah rumah sederhana
yang tak akan pernah kalah oleh takdir
di dalam rumah kata
di dalam rahim hujan.
Mengingat Langit di Kotamu
Kini, aku sering mengharapkan langit kotamu
berpindah di bawah teduh pohon,
terperangkap di laut kota atau berada di beberapa tempat
yang dulu kita gunakan tuk menguburkan sehimpun cemas
aku tak mampu mengenal langit malam di kotaku
sebab seluruhnya mungkin hanya bayang-bayang
waktu yang usang
bintang-bintang menjelma kunang-kunang
berusaha melabuhkan dirinya dalam gelap cemas
yang tak lekas sembuh dan kian betah dalam tubuhku
di sini, bulan telah purba dalam peristiwa sepi
hingga malam tiba, aku berusaha
memejamkan mata jauh lebih rapat
untuk belajar merasa dan melihat malam
di dalam mataku sendiri
yang juga mampu mencipta hujan
jatuh bersama bulir-bulir waktu
kelak, langit kotamu berpindah
diam-diam dalam pejamku
dipenuhi kunang-kunang
yang merindukan bulan seutuhnya
dan menguburkan sejumlah ingatan
yang tak henti melukai pemiliknya sendiri
Perjalanan
Mereka berjalan bersama di samping gedung tua
berlalu tanpa mengenal langkah satu sama lain
Andai ada semak belukar menghadang,
tak mengapa, mungkin langkahnya akan tertukar
tangannya tak bergandeng,
tatapan nanar memandang
tiang-tiang taman dan patung meraung
sesaat setelah mereka melewati gedung tua
tapi, meraka masih tak mengenal langkah
mereka mendekat pada sebuah kumpulan wangi
melepas sendu malam kemarin, kemudian kering
jari telunjuk mendekat, tapi satu tangan menghalang
petik saja, katanya lalu, tak ada suara
terdengar langkah menggertak mereka
tak ada lagi langkah ragu,
petik saja, katanya
tapi banyak alasan di sana, dan di sini
untuk tidak menjadi apa-apa
Sebait Pembacaan Diri
dalam tes Rorschach
kau bebas jadikan bacaan:
serupa sehelai kertas
dengan sejumlah guratan
tanpa kau sentuh
saat arti namamu sendiri
kau pertanyakan.
Getir sebagai gambar
mengijinkan mereka menjadi apa saja.
Tanpa sebab, lalu lama kudekati gambar
kau membaca dirinya,
dengan bahasa
diam sejenak menatap lama
dan sebuah gambar yang kabur
ranting jiwamu, kau lenturkan
jauh lebih dari sekarang agar
dedaunan rimbun akalmu
jatuh tanpa sakit kehilangan
batangmu beruntung kekar
namun mungkin esok rapuh
sebab akarmu
mesti lebih mengakar dirinya,
jauh ke dalam
mencintai tanah yang tabah
Pada Suatu Purnama
di dalam malam panjang
suatu mimpi diciptakan seorang lelaki
tentang harapan bersama perempuan
yang menyimpan purnama di matanya
ketika luka tumbuh sebelum tidur
matanya menampung ketabahan
menuju d0a-doa panjang
tentang sesuatu yang lebih indah
lelaki itu, pada suatu purnama
selalu mendoakan sebuah nama
Pada Kesadaran
Ibu,
langit doamu tak hanya berwarna biru,
kau rapalkan kedamaian
untuk buah hatimu yang semakin liar
dan gagal menakar diri
berharap hari mampu melarikan dirinya
lebih cepat dan tersesat,
menyelami sukmamu,
mendiami rahimmu kembali
Ibu,
tubuhku tak lagi pernah mampu kembali dalam rahim
meminjam separuh hidupmu,
menempati rumah Tuhan,
merayakan kesaksian,
melantunkan tembang keagungan
sebelum disambut bumi lalu ditertawakan waktu
Ibu,
simpanlah harapanmu pada cemas
yang kukemas kemarin
setelah kepak sayap dari doamu
belajar mengenal angkasa
dalam relung sepiku akan ada yang memberanikan diri
melewati terjal perjalanan
menggapai asa di singgasana
Ibu,
Tuhan mengenal aroma doa dari dalam palung jiwamu
waktu merekamnya setelah
kau lahirkan dan hadiahkan
hingga mampu menembus
gelapku yang berlapis-lapis
sebab itu, kusandarkan kesadaran hidupku
pada doa-doamu. Ibu.
Membaca Mimpi-mimpi
Malam ingin menyelinap diam-diam
Agar tidur kita tak dipenuhi mimpi-mimpi aneh
Setiap pagi,
beberapa lelaki berwajah sabar bersuara redup
menunggu dirinya agar
mampu mengutuk-ngutuk gelap tanpa lelap
sebab mereka, ingin berhenti menebar sabar
maka,
mari baca mimpi kita, sediakala nyata
telah mengalah di keharuan lembaran pilu
membaca pilu itu,
bersama-sama gelap kita masing-masing
hingga kita menuliskannya dan menjadikan buku
lalu mengatupkan seluruhnya pada lemari
lemari itu adalah mimpi tanpa malam
bacaan mata,
sepeninggal tertutup sejam kemarin
kemudian kita bangunkan setelah kata terakhir
diterjemahkan dalam puisi kemarin petang
Tentang Wawan Kurn
Wawan Kurn lahir di Pinrang 4 Maret 1992. Menulis puisi, cerpen, esai. Tulisannya tersebar di berbagai media massa dan antologi bersama. Sepertinya, Persinggahan Perangai Sepi (2013) adalah kumpulan puisinya yang pertama.
Catatan Lain
Halaman persembahan buku ini berisi kata-kata: Untuk Ibu yang telah melahirkanku jadi puisi. Halaman berikutnya berisi testimoni dari Tatty Elmir, Khrisna Pabichara, Lily Yulianti Farid, Gegge Mappangewa, Robin Wijaya, dan Dul Abdul Rahman, yang kesemuanya menghabiskan 3 halaman buku. Penyair maupun penerbit tidak menulis pengantar. Di sampul belakang buku ada 3 bait puisi tanpa judul. Kita harus mencari ke dalam buku untuk mendapatkan judulnya itu, yang tak lain adalah Pada Suatu Purnama. Di bawah puisi ada endorsemen dari Khrisna Pabichara, sendirian dia.