Mengendapnya Waktu

Galang masih tidak percaya. Jalan pikirannya selogis fakta berita dalam koran sehingga mustahil hal seperti itu bisa dipercayainya. Walau demikian, ia tetap menghargai Johan, sahabatnya yang sudah setengah jam lebih berkisah di warung tenda itu dengan ekspresi meyakinkan, seperti sanksi mata di meja hijau. Galang yang memang sejak pertama mendengar pembukaannya sudah menguap itu kini hanya bisa mangut-mangut sambil sesekali mengisap rok*knya. Namun Pak Totog yang mempunyai warung tenda itu dengan antusiasnya menjadi pendengar setia cerita Johan.
“Sudahlah Jo!” potong Galang.”Aku nggak percaya sama cerita horrormu itu!”
“Aku serius ini. Rumah itu pokoknya angker banget!” sahut Johan.
“Dan pokoknya aku cuma mau jepret prabotan-prabotan antik di rumah itu, titik!”
“Oh, jadi kamu nggak percaya nih sama aku?” Johan melotot, darahnya mulai naik ke ubun-ubun.
“Bukannya gitu Jo, kan aku baru nyusun skripsi tentang keunikan benda-benda antik. Nah di rumah itu kan katanya banyak banget benda-benda antiknya.” jelas Galang.
“Nak, Bapak sarankan, kamu jangan pergi ke sana. Bahaya!” Pak Totok ikut melarangnya.
“Ah, masa bodoh!” ujar Galang sambil mengisap rok*knya untuk yang terakhir sebelum ia buang. Diberikannya beberapa lembar uang pada Pak Totog untuk membayar bon, kemudian pergi.
“He Galang, hati-hati kamu! Rumah itu berdarah!” teriak Johan saat sahabatnya itu pamit untuk mengunjungi rumah yang sejak tadi menjadi bahan utama pembicaraan mereka di warung tenda itu.
Pemuda itu melangkah santai menyusuri jalan yang kian lenggang lantaran hari hampir gelap dan pasti sebentar lagi adzan magrib akan berkumandang. Ia teringat cerita Johan tentang rumah tua itu. Ia tidak percaya dengan semua tentang mahkluk halus dan sejenisnya, karena baginya sangat tidak logis jika harus mempercai hal tanpa fakta atau pun bukti seperti itu, tapi ia akan berhati-hati. Mengamanahkan perkataan sahabatnya.
Kamera Digital dengan lensa berkualitas gambar tinggi itu sejak tadi siap memotret apa saja di sekitarnya. Ia menggantungkan sabuk kamera di lehernya, sehingga benda itu menggantung menyentuh dadanya. Galang adalah seorang mahasiswa fotografer yang hampir menyelesaikan skripsinya, dan saat ini ia tengah mencari figur potretan benda-benda antik untuk melengkapi skrisinya. Ia berencana ingin memotret perabotan-perabotan antik di sebuah rumah tua. Saat ia menceritakan rencananya itu pada Johan sahabatnya. Bukan menyetujui niatnya, tapi justru membuatnya sebal dan penat dengan cerita yang Galang anggap hanya sebuah urband legend setempat atau mitos saja. Ia benar-benar tidak percaya. Itu bukan sejarah atau pun fakta yang logis dan tak ada alasan untuk mempercayainya. Ya, seperti itulah jalan pikirannya.
Malam mulai menyapanya dengan sentuhan gigil merayu hingga tubuhnya sesekali bergetar menahan dingin yang teramat. Sembari tadi langkahnya tak menentu, ke sana ke mari menuruti perkataan orang-orang yang ditanyainnya, tapi setiap dari mereka selalu saja mempunyai jawaban berbeda. Galang mulai putus asa dengan pencariannya. Ia duduk bersandar dengan peluh kelelahan yang terus mengucur dari pori-pori kulitnya. Kaki yang sembari tadi melangkah itu kini terasa kaku dan berat, seakan ada rantai yang mengikatnya. Ia terlalu lelah dan kini telah pasrah. Kecewa selalu menguasainya, tapi sejenak ia mengumpulkan kekuatan untuk melawan rasa tak berguna itu, walau bukanya foto benda-benda antik melainkan lelah dan kecewa yang didapat. Dia tidak pernah mengutuki keadaan, karena ini adalah takdirnya.
Beberapa kali ia mencoba bangkit, tapi tenaganya telah terkuras habis disaat linglung dalam pencarian. Saat ia berhasil berdiri dengan tegap, terlihat seseorang berjalan dari sisi jalan menuju gerbang masuk rumah mewah yang sejak tadi pagar depannya ia gunakan untuk bersandar. Orang itu ternyata lelaki paruh baya dengan uban memenuhi kepala.
“Kamu ngapain di sini Nak?” tanya orang itu.
“Maaf tadi saya beristirahat di sini sebentar. Saya kesasar Pak. Sudah dari pentang saya ke sana ke mari mencari alamat, tapi nihil.” jawab Galang lemas.
“Oh, kasihan juga kamu. Mari masuk saja Nak, istirahat di dalam saja. Di luar kan dingin. Mari masuk.” ajak orang itu dengan sebesit senyum dan mata tua yang tajam dari balik kaca mata minusnya, tapi terlihat teduh, meramahkan suasana. Kebaikan lelaki paruh baya itu terasa seperti pelukan hangat di hatinya. Beruntungnya nasib Galang, karena setelah ia masuk ke dalam rumah itu di luar hujan turun begitu lebat bersama angin dan petir yang menyambar-nyambar.
Lelaki paruh baya itu mengenalkan dirinya yang bernama Jonathan Ernest pada Galang. Mereka berjabat tangan. Perlahan-lahan lelaki itu menceritakan liku-liku kehidupannya. Ia adalah pria indo, yang mana Ayahnya dari Eropa dan Ibunya asli orang jawa. Beberapa kisah-kisah inspiratif dalam hidupnya pun ia dongengkan pada Galang yang sesekali menanggapinya penuh antusias. Perbincangan mereka semakin hangat, membuat hawa dingin seperti terlupakan sesaat.
“Kau seorang fotografer?” tanya Jonathan sambil menatap kamera digital yang sejak tadi dipegang oleh Galang.
“Iya, saya mahasiswa fotografer semester akhir.” jawab Galang seraya mengeluarkan sebatang rok*k yang kemudian dinyalakannya dan sesekali ia hisap penuh nikmat. Pembicaraan mereka terus berlanjut. Mata lelaki paruh baya itu berbinar setiap kali menuturkan ceritanya dan Galang dengan antusiasnya menjadi pendengar setia yang sesekali berpendapat. Pemuda itu seakan lupa dengan tujuan pertamanya, tapi setelah keduanya membisu sesaat. Ia memberanikan diri untuk bertanya, walau sebenarnya ragu.
“Apakah anda tahu alamat ini?” tanya Galang sambil mengulurkan selembar kertas catatan kecil.
“Tahu, tapi alamat ini…” jawab Jonathan setelah beberapa saat mengingat-ingat. Kini keramahan di wajahnya mulai pudar berganti dengan mata tajam yang menatap curiga, alis tebalnya menyatu, dan perlahan merkah senyuman aneh di wajahnya.
“Alamat itu kenapa Pak?” tanya Galang penasaran.
“Kamu yakin ingin pergi ke alamat ini?” Jonathan balik bertanya.
“Iya.” Galang mengangguk pelan sambil mengisap rok*knya.”Memangnya seberapa angker rumah itu, sampai semua orang yang ku tanya selalu saja menampilkan wajah aneh, padahal niatku cuma pengen dapet jepretan benda-benda antik di dalamanya dan pulang.”
“Rumah itu berdarah anak muda, jangan sesekali berkunjung ke sana, karena taruhannya nyawa.” ujar lelaki itu seraya membenarkan letak kacamatanya.”Jika kau mau aku akan memperlihatkan beberapa koleksi benda antikku. Mungkin akan mengobati kekecewaanmu Nak, tapi kau harus berjanji jangan sekali-kali berkunjung ke rumah itu. Berbahaya!”
“Wah, kebetulan sekali. Janjiku untuk membalas semua kebaikanmu ini tuan.” Galang berucap dengan mata berbinar penuh harap. “Suatu kehormatan bagi saya jika memang anda mengizinkan.”
“Okey! Siapkan setting kamera terbaikmu.” ujar Jonathan seraya bangkit. Di mata tuanya yang tajam itu terpancar api semangat, hingga keburamannya tersamarkan.
Lumayan banyak benda-benda antik yang dimiliki lelaki paruh baya itu. Guci, patung, piring perunggu, lukisan-lukisan dari seniman ternama, kumpulan koin dari zaman kerajaan majapahit hingga sampai sekarang lengkap dengan penjelasannya, dan sebuah meja makan pajang penuh ukiran abstrak seperti lambang-lambang aneh. Semua itu tertata rapi di sebuah ruangan pribadinya. Saat Galang sibuk mengambil gambar benda-benda koleksi itu, Jonathan sempat beberapa kali menjelaskan asal-usulnya. Dengan gerakan lincah pemuda itu mengerahkan semua kemampuannya dalam membidik dan mengambil foto yang didapatnya selama menjadi mahasiswa fotografer. Tak henti-hentinya ia berdecak kagum. Rasa gembira, senang, kagum, dan haru kini memenuhi hatinya. Meleyapkan kekecewaan yang pernah singgah sesaat.
Galang sangat berterimakasih pada Jonathan yang telah mau membagi waktu serta memperlihatkan benda-benda koleksinya.
“Terimakasih banyak, karena anda sangat baik kepada saya. Sekali lagi terimakasih.” Galang berucap seraya tersenyum.
“Sama-sama anak muda. Semoga bermanfaat untukmu Nak.” sahut Jonathan dengan sesungging senyum yang merkah di wajah keriputnya.
“Bolehkah saya foto bersama anda sebagai kenang-kenangan?”
“Tentu saja, mari.” sesaat Galang mensetting kameranya dengan mode timer yang otomatis akan mengambil beberapa bidikan. Kemudian mereka berpose dengan saling melingkarkan tangan di pundak satu sama lain, tampak seperti seorang ayah dengan anaknya.
“Saya harus segera pulang, sudah sangat malam dan hujan tampaknya juga telah reda.” ujar Galang seraya melihat arloji di tangan kanannya.
“Okey, mari ku antar ke luar.” sahut Jonathan.
Bertemankan sebatang rok*k ia menyusuri jalan pulang. Gelap yang kian senyap menemani langkahnya. Angin berhembus pelan dengan keusilan dan gigilnya. Badanya sesekali bergetar menahan dingin. Ia menghisap rok*knya dan menghembuskan nafasnya bersama asap putih di kegelapan malam. Sudah lima batang rok*k ia habiskan untuk menemani langkahnya yang kian terasa berat. Baru pada batang rok*k ke enamnya ia telah sampai di kontrakannya.
Tok, tok, tok…
“Assalamu’alaikum.” Galang menunggu. Terdengar langkah kaki menuju pintu dari dalam. Perlahan terbukalah pintu itu bersama derit engsel yang miris di hati.
“Astaghfirullahal adzim!” sentak Johon terkejut. Matanya tak mampu melihat sosok di hadapannya. “Dunia kita sudah berbeda sahabat. Jadi janganlah kau menggangguku, tenanglah di alam keabadianmu. Pergilah, aku sudah mengikhlaskanmu.” Galang bingung. Mau tertawa, tetapi sahabatnya ini terlihat serius dan ia hanya bisa diam sambil menghisap rok*k terakhirnya. Dengan usil ia sebulkan asap rok*knya ke wajah Johan.
“Kenapa Jo? Kau kira aku sudah ko-id dimakan hantu rumah itu. Ah, kamu ini ada-ada saja.” Galang berhenti untuk menghisap rok*knya sesaat. “Terus mau ke mana kamu dengan potongan baju rapi ala pengajian seperti ini? Nggak bilang-bilang sih kamu Jo kalau ada pengajian akbar. Jadinya kan aku nggak pulang jam segini.”
“Ini bener kamu Lang?” tanya Johan sambil menguncang-guncang pundak sahabatnya.
“Hehe, nggak jumpa beberapa jam saja tingkahmu berubah drastis ya. Sok kangen-kangenan! Sampai pura-pura lupa segala!” sahut Galang seraya membuang rok*knya yang tinggal gabusnya saja.
“Kamu beneran Galang sahabatku!” Johan memeluk tubuh sahabatnya itu seraya terisak, menangis begitu pilunya.
“Eh, kenapa sih? Dari dulu kan aku Galang. Kapan juga aku jadi satria baja hitam dan kawan-kawan!” Galang tertawa kecil dalam pelukan sahabatnya yang terisak pilu, entah kenapa. “Kamu mau ke mana rapi kek gini?”
“Tadinya aku mau ke rumahmu mendatangi acara do’a bersama, memperingati kepergianmu yang sudah satu tahun pada hari, tapi…”
“Kamu ini ada-ada saja Jo. Aku cuma pergi beberapa jam yang lalu setelah berdebat denganmu di warung tendanya Pak Totog. Ingat kan?” Galang memotong tajam.
“Iya aku ingat, tapi kenyataannya kau sudah menghilang tanpa kabar selama satu tahun ini.” Johan berucap seraya melepaskan pelukannya.
“Rumah Jonathan Ernest itu!” gumam Galang saat melihat foto-foto di kameranya. Ada satu foto yang ganjil. Fotonya bersama lelaki paruh baya itu aneh, sebab hanya terlihat Galang seorang diri. Tanganya terlihat seperti melingkar di pundak seseorang, tapi di foto itu ia benar-benar sendiri.
*) Sepecial thanks to “Galang Aji Nugroho” yang telah melimpahkan waktunya untuk mendengar ocehanku setiap hari.
Cerpen Karangan: Garin Afranddi
Facebook: Garin Afranddi
Read More
10 tahun ago
0 33
10 tahun ago
0 39
10 tahun ago
0 40

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Best Dating Sites
Platform Pengiriman Pesan Instan
Platform Sosial Media

Top Profiles
Siska Media di TikTok
10.0/10
Siska Media di TikTok
Channel Siska Media di Youtube
10.0/10
Channel Siska Media di Youtube