Hai Super Parents,…Assalamualaikum.
Ketika sedang jalan-jalan bersama si kecil, mungkin super parents pernah dikagetkan oleh celotehan si kecil yang dengan polosnya bertanya tentang wujud Tuhan. Bunda Tuhan itu seperti apa, sih? Punya tongkat sakti ya? Hmm…Atau pernah suatu kali sang putri kecil kemana-mana inginnya pakai mukena dan membawa Al-Quran di tangannya, bahkan selalu ada dalam tas mainnya. Tenang, kalian tidak sendiri, banyak juga orang tua lain mengalami hal yang sama.
Dunia spiritual anak-anak penuh kejutan bagaikan roller coaster, membuat kita sering merasa kaget. Namun tidak jarang juga tersenyum dan tertawa melihat tingkah polahnya dan juga karena imajinasinya yang terkadang di luar nalar.
Siap-siap ya! Kita akan memecahkan kode ‘bahasa rahasia’ spiritual anak-anak, dari yang cuma bisa bilang “Tuhan baik” sampai yang sok-sokan ceramah ala ustadz cilik. Semoga setelah membaca pemaparan ini, Super Parents bakal memiliki kekuatan penuh untuk memahami dan membimbing perjalanan spiritual Si Kecil.
Tahapan Perkembangan Pembelajaran Nilai Keagamaan Anak Usia Dini
Mari kita lanjutkan diskusi kita tentang bagaimana ananda yang sudah memasuki usia taman-kanak-kanak mulai mengenal dan memahami nilai-nilai agama. Berikut ini 5 kemungkinan tentang tahapan perkembangan dan pemahaman ketika anak diperkenalkan tentang nilai keagamaan, ada 5 tahapan nih Super Parents, diantaranya yaitu unreflective, egocentris, misunderstand-verbalis, ritualis, dan imitative.
Tahap Unreflective (Tanpa Refleksi)
John Echol (1995) Memaknai istilah reflektif sebagai tidak mendalam. Pada tahapan ini, anak belum memiliki kemampuan untuk menyaring informasi keagamaan yang mereka dapatkan secara mendalam. Mereka belum bisa merenungkan. Mereka akan menerima informasi sesuai dengan pikiran polos mereka. Kalau orang tua bilang “Tuhan selalu melihat kita”, bisa saja Ananda berimajinasi Tuhan adalah sesosok makhluk yang memiliki mata besar dan mengawasi terus.
Ketika Super Parents bercerita tentang keindahan surga, bisa jadi dalam benak Ananda akan terbayang bahwa surga adalah suatu tempat yang dipenuhi dengan aneka coklat, permen dan juga puding. Atau hal lainnya sesuai dengan apa yang Ananda sukai dan gandrungi.
Untuk itu pada tahapan ini pemberian pengetahuan keagamaan masih dalam konteks yang sederhana. Jangan sekali-kali kita menakut-nakuti Ananda dengan ungkapan,”Nanti masuk neraka lho!”. Fokus saja dulu ke hal-hal dasar seperti, “Tuhan sayang kita” atau “Berbuat baik itu penting”.
Berbasis pernyataan Maria Montessori yang menerangkan bahwa pikiran anak usia dini layaknya sebuah spons, mereka akan menyerap segala informasi yang masuk ke dalam pikiran mereka dengan sangat mudah, semudah spons dalam menyerap cairan. Untuk itu pada tahapan ini ceritakan hal-hal yang baik terlebih dahulu.
Para pendidik dan orang tua juga tidak perlu terlalu kecewa atau memarahi anak ketika anak tidak serius menjalankan pembelajaran tentang salat atau doa, karena anak belum bisa serius dan merenungkan apa yang dipelajarinya. Apalagi jika kita menuntut mereka untuk mengikuti sama persis dengan apa yang kita ajarkan.
Hal ini bukan menunjukkan ketidakberhasilan dalam proses pembelajaran, kita harus memahami bahwa memang anak sedang dalam tahapan pemahaman unreflective. Selain itu juga kemampuan mereka belum sempurna, misalnya perkembangan bahasa yang masih dalam tahap perkembangan, misalnya masih ada yang cadel atau banyak tidak mengenal kata dan juga tidak paham artinya. Banyak kata asing yang bisa mereka ketahui melalui pemeblajaran nilai agama. Selain itu motoriknya juga belum berkembang sempurna seperti halnya juga aspek perkembangan lainnya.
Tahap Egocentris (Berpusat pada Diri Sendiri)
Pada tahapan ini, anak sudah memasuki pada tahapan memiliki sedikit pengertian atas informasi yang didapatkan. Mereka akan berpikir dan banyak bertanya. Namun masih terbatas konteks ke ’Aku-an’ nya.
Hal ini bisa dilihat dari tingkah lucunya ketika berdoa dia akan berkata, “Ya Tuhan, bukakan hati mama agar mau membelikan aku mobil remote, ya!” Bahkan ketika hari terlihat cerah setelah seharian turun hujan dia akan berceloteh, “Alhamdulillah Allah maha tahu, nih, kalau aku emang beneran lagi ingin main sepeda di luar!”.
Untuk itu, tahap ini merupakan kesempatan yang bagus untuk mengenalkan anak pada konsep ke-Tuhanan, bahwasannya Tuhanbertindak secara universal, kemurahannya diperuntukkan bagi semua manusia. Super Parents bisa mengajak mereka berdiskusi dengan ungkapan, “ Kakak, menurut kamu kira-kira Allah azza wa Jalla sayang tidak ya sama teman-teman kamu?”
Pada tahap ini juga Super Parents sudah bisa mengenalkan konsep bersyukur atas pemberian yang Allah kasih, bukan hanya sekedar meminta lewat doa saja. Mereka sudah bisa diberi pemahaman bahwa harus banyak bersyukur dengan apa yang sudah diberikan Allah selama ini. Dengan cara apa? Dengan menjadi anak baik, mau belajar ngaji, mau belajar salat dan nilai-nilai kebaikan lainnya.
Namun, jangan kecewa jika mereka juga tidak mau mengikuti perintah kita untuk belajar salat misalnya, karena di tahapan ini ego mereka masih sangat dominan dan psikologis mereka belum stabil. Perlu sabar dalam mengarahkannya.
Tahap Misunderstand-Verbalis (Salah Paham Verbal)
Di tahap ini, biasanya anak-anak udah mulai terbiasa dengan istilah “agamis” walaupun sering salah mengartikan, misalnya, pahala diartikan seperti sebuah permen. Biasanya anak-anak seringkali reflek mengucapkan kata astagfirullah walau sesungguhnya tidak paham kalau maknanya adalah mohon pengampunan. Atau ada juga nih anak kecil yang berseloroh, “Ih, kamu nakal, kamu harus tobat!” Ketika ditanya apa makna tobat, maka si kecil bingung menjawabnya.
Nah, pada tahap ini, Super Parents mulai bisa menjelaskan sedikit demi sedikit tentang makna kata-kata agamis yang sering didengar oleh anak. Ini waktu yang tepat untuk menjelaskan makna dari kata-kata agama yang acap mereka dengar.
Gunakan kalimat sederhana ketika menjelaskan, misalnya “Nak, Pahala itu seperti hadiah dari Allah karena kita berbuat baik.” Atau “Tobat itu maksudnya meminta maaf kepada Allah.” Ketika Ananda salah mengartikan ada baiknya Super Parents tidak menertawakannya apalagi kalau sambil marah.
Menertawakan atau memarahi anak bisa menyebabkan Ananda kehilangan rasa ingin tahunya (curiosity) terhadap nilai keagamaan dan akhirnya malas untuk belajar.
Tahap Ritualis (Terfokus pada Ritual)
Sekarang kita masuk ke tahap di mana anak-anak mulai tertarik dengan ritual-ritual agama. Mereka suka sekali melakukan hal-hal yang kelihatannya “agamis”, meskipun belum memahami maknanya. Misalnya Anak perempuan lagi senang-senangnya pakai mukena, bahkan sampai digunakan saat bermain.
Anak laki-laki senang sekali mendengar suara adzan tetapi mungkin kesenangannya itu dilandasi karena suka ketika mendengar adzan digaungkan lewat pengeras suara. Atau rajin ikut tarawih hanya karena ingin mendapat makanan buka puasa.
Nah, Ini momen yang bagus untuk mulai menjelaskan makna di balik kegiatan ritual keagamaan. Bisa mulai dari hal-hal simpel, misalnya “Kita sholat untuk berterima kasih sama Tuhan.” Jangan terlalu kaku. Kalau anak main-main pakai atribut agama, gak papa. Perlahan kita mengajari mereka tentang cara menghormatinya.
Pada usia 3-6 tahun kemampuan Bahasa anak juga sedang proses berkembang. Berbasis pendapat pakar Bahasa Elizabeth tentang konsep perkembangan Bahasa yang sedang pesat di masa ini. Mengembangkan dan mengenalkan nilai agama kepada anak juga bisa dijadikan sarana untuk mengembangkan bahasanya.
Disarankan untuk melatih kegiatan keagamaan dengan konsisten melalui latihan secara rutin dan praktik langsung bukan hanya sekedar pengetahuan yang informatif saja.Karena pengalaman nyata akan memberikan pengalaman yang berdampak bagi anak.
Tahap Imitative (Meniru)
Masa kanak-kanak masih berada dalam masa dasar dalam perkembangan. Mereka sangat tertarik untuk meniru apa yang orang dewasa di sekitarnya lakukan. Mereka berusaha menjadi “mini-version” dari sosok orang dewasa yang berada di sekitarnya.
Anak-anak pintar sekali berakting jadi “orang yang agamis”. Pada tahapan ini anak perempuan mulai suka pake jilbab meniru bundanya. Yang laki-laki senang mengenakan sarung dan peci menitu gaya ayahnya.
Mereka mulai bergaya menasehati temannya menggunakan istilah agamis, padahal sendirinya masih suka berbuat kesalahan yang sama. Bahkan ada juga lho anak yang mahir menirukan gaya seorang ustadz, baik dari cara berpakaian atau gaya sang ustadz berbicara. Hadeuuh. Lucunya.
Tahapan ini merupakan tahapan yang krusial. Konsisten antara perbuatan dan ucapan sangat penting agar tidak mengecewakan anak. Jika kita mendahulukan nilai agama di setiap perbuatan kita maka akan tertanam dalam jiwa anak bahwa nilai agama adalah sesuatu yang penting dan harus dijadikan pedoman.
Untuk itu jadilah orang tua yang mampu menjadi tauladan bagi anak-anaknya. Persiapkan diri jauh hari sebelum dianugerahi seorang keturunan. Kalau kata ibu Maria Montessori, pengaruh keberhasilan sebuah pembelajaran adalah bersumber dari orang dewasa yang dipersiapkan baik dari sisi lahiriahnya maupun batiniahnya atau psikologisnya agar mampu membentuk generasi unggul dan membanggakan.
Mengembangkan Nilai Keagamaan Melalui Konsep Potret, Esensi dan Target
Potret Pengembangan Nilai Agama Anak
Esensi Pengembangan Nilai Agama
Jadi, apa intinya mengajarkan agama ke anak usia dini? Esensinya bukan hanya menciptakan anak menjadi robot yang hafal ayat-ayat, tapi lebih pada penanaman nilai-nilai baik yang sesuai ajaran agama. Penekanannya dalam pembentukan akhlak mulia dan mensupport anak untuk menjadi versi terbaik dari yang dirinya miliki. Secara simpel, kita mau anak paham bahwa ada ‘sesuatu’ yang lebih besar dari diri mereka, yang menyayangi dan melindungi mereka.
Goalnya adalah membimbing anak agar bisa lebih mengenal Tuhannya. Bukan hanya mengenal nama tapi juga mengetahui bahwa Allah itu memiliki sifat bai seperti penyayang , pemurah, maha kaya dan lainnya.
Melalui penanaman nilai agama anak jadi memahami mana hal yang boleh dia lakukan mana yang “Big No No” berdasarkan nilai agama yang dianut dan bukan hanya berdasarkan takut pada orang tua. Kita juga sedang membiasakan anak untuk melakukan ritual ibadah menurut agamanya. Tentu saja tanpa paksaan! Sehingga anak bisa bersyukur bukan hanya pada manusia, namun juga kepada Tuhannya.
Target Nilai Pengembangan Nilai Agama Anak
Target utamanya adalah untuk mewarnai pertumbuhan dan perkembangan anak dekat dengan nilai keagamaan. Semua ini didasarkan pada:
- Anak terlahir dalam keadaan suci. Seusai dengan hadis Rasulullah SAW, yang menyatakan bahwa Sesuangguhnya anak dilahirkan dalam keadaan suci, Ayah ibunya lah yang menjadikan dia Nasrani, Yahudi dan juga Majusi.
- Awal kehidupan anak tentu akan penuh diwarnai dengan prinsip kejiwaan yang dimiliki oleh anak.
Atas dasar inilah sebagai orang tua dan pendidik target kita ketika membimbing anak pertama kali berbicara dia harus bisa berbicara dengan menggunakan kata-kata yang sopan. Ketika makan dia harus terbiasa menggunakan tangan kanan, menghabiskan makanan dan tidak tabzir. Makan dengan mengambil makanan yang paling dekat dengannya, dan hal lainnya yang sudah ditetapkan oleh kaidah agama.
Kompetensi Perkembangan Nilai Agama dan Moral AUD
Supaya Super Parents memiliki sedikit gambaran tentang apa saja nilai-nilai yang perlu dikembangkan dan diterapkan pada ananda, saya akan memaparkan beberapa kegiatan yang berkaitan dengan nilai agama dan moral sesuai dengan tahapan usia ananda. Berikut ini pemaparannya:
Kompetensi Perkembagan |
Usia 3 – 4 tahun |
Usia 5 – 6 tahun |
Aplikasi |
Keterangan |
Mengenal |
Menyebut nama Mengetahui Meniru |
Menyebutkan Memahami sifat-sifat Mengenal doa-doa |
Menggunakan |
Usia 3 – 4 tahun |
Moral dan |
Mengucapkan Mengucapkan Mengetahui Mengucapkan Mau menyapa |
Bersikap Mengerti Mulai Menyiram Meminta Berbahasa sopan |
Bermain |
Usia 3 – 4 tahun |
Toleransi |
Mengenal aneka Mulai |
Menghargai Memahami jika |
Melalui pembelajaran |
|
Kegiatan |
Ikut serta Mendengarkan |
Mampu melakukan Mengenal Berpartisipasi Mengenal Menyanyikan |
Menggunakan |
Usia 3 – 4 tahun |
Nilai |
Mau menolong Tidak
|
Menunjukkan Mulai Menunjukkan
|
Menggunakan |
Usia 3 – 4 tahun |
Pengenalan |
|
Mengenal Mampu menyebutkan |
Dengan metode |
Usia 3 – 4 tahun Sedangkan |
|
|
|
|
|
Nah, Super Parent, perlu diingat juga, bahwa setiap anak itu terlahir unik, jadi ketika mencoba menerapkan nilai keagamaan dan moral pada anak harus disesuaikan dengan tahap perkembangan masing-masing anak. Jangan memaksa dan harus dilakukan dalam suasana yang bahagia, aman juga nyaman bagi orang tuanya dan tentu saja bagi si kecil.
Gunakan bahasa yang sederhana ketika menjelaskan pada anak dan berikan afirmasi positif, agar mereka senang melakukan hal positif yang sesuai tuntunan.
Prinsip Dasar Pembelajaran Perkembangan Nilai Anak
Selain mengetahui tahapan perkembangan dalam pembelajaran nilai-nilai agama, sebagai orang tua dan pendidik kita juga harus paham prinsip dasar dalam kajian perkembangan nilai-nilai agama pada anak usia dini. Apa sajakah? Mari kita kupas lagi!
- Prinsip Aktivitas. Kegiatan reel akan lebih berdampak buat anak. Utamakan penerapan yang dilakukan erat kaitannya dengan aktivitas kehidupan sehari-hari.
- Prinsip Keteladanan. Siap menjadi tauladan bagi Ananda. Karena jika tidak ada contoh yang linier maka proses pembelajaran akan sia-sia.
- Prinsip Kesesuaian dengan Kurikulum Spiral. Sampaikan pembelajaran secara bertahap, dimulai dari yang sangat mudah, mudah dan agak sulit menuju pada hal sulit.
- Prinsip Developmentally Appropriate Practise (DAP). Utamakan prinsip kesesuaian pada perkembangan setiap anak, jangan memaksa anak layaknya orang dewasa mini yang harus asama dengan kita.
- Prinsip Psikologi Perkembangan Anak. Terapkan prinsip yang memahami psikologi perkembangan anak, kenali fase perkembangannya.
- Prinsip Monitoring. Lakukan monitoring rutin dan berkala. Sampai sejauh mana anak mampu menerapkan pembelajaran yang sudah diberikan. Hal ini penting untuk pijakan evaluasi ke depannya.
Kesimpulan dan Antisipasi Sikap Orang Dewasa Terhadap Pengembangan Nilai Keagamaan Anak
Dalam proses mengembangkan nilai agama pada anak, yang paling penting adalah kita sebagai orang dewasa sekaligus pendidik harus menyiapkan diri untuk menjadi orang dewasa matang yang patut menjadi contoh baik bagi ananda.
Anak-anak lebih suka meniru daripada diceramahi Panjang lebar. Kita juga harus selalu siap menjawab pertanyaan mereka, walau pun jangan ragu menjawab tidak tahu jika memang kita tidak mengetahui jawaban yang ditanyakan oleh anak. Ajak anak untuk mencari jawabannya bersama, misalnya lewat baca buku atau mendengarkan kajian di Youtube. Pertanyaan dari anak-anak seringkali membuat kita harus berpikir keras lho untuk menemukan dan memberikan jawaban yang tepat.
Buat suasana belajar agama menjadi menyenangkan. Melalui konsep bercerita, nyanyian, atau permainan. Hormati proses mereka. Kadang anak-anak bisa mundur atau maju dalam pemahaman agamanya. Konsistensi itu perlu dan penting sekali. Jika kita ingin mengajarkan tentang kejujuran, bangun dulu diri kita menjadi orang yang jujur. ya kita juga harus jujur.
Libatkan anak dalam kegiatan sosial keagamaan. Misalnya, mengajak mereka berbagi makanan takjil atau terbiasa membantu kita menunaikan zakat. Hal ini mengajarkan kepada anak tentang aspek sosial keagamaan. Ajari ananda perihal toleransi dalam agama dari sejak kecil dalam konteks yang sederhana.
Perkembangan spiritual anak merupakan perjalanan yang panjang. Dalam proses perjalanannya bisa saja kita menemukan kerikil atau liukan, jalannya tak melulu lurus juga lurus. Yang terpenting kita bisa menjadi seorang pemandu yang sabar dan bijak dalam menemani perjalanan mereka mengenal dan memahami nilai-nilai agama.
Mengajarkan nilai-nilai agama pada anak itu layaknya sedang bercocok tanam. Bibit yang kita tanam tidak bisa kita paksakan agar tumbuh langsung besar, semuanya berproses, butuh siraman air serta pemberian pupuk yang sesuai agar bisa tumbuh subur.
Jadi, santai saja dalam menghadapi pelangi perkembangan spiritual anak-anak. Yang penting kita bisa menjadi panutan yang baik dan selalu siap menjawab pertanyaan mereka dengan sabar. Nikmati prosesnya dan syukuri hasilnya. Pelan-pelan tapi pasti, mereka bakal tumbuh menjadi individu yang memiliki pemahaman agama yang kuat dan bermakna. Tapi ingat ya, ini bukan aturan kaku. Setiap anak itu unik dan bisa saja punya “jalan spiritual” yang beda-beda.